Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Kethoprak untuk Kethoprak

Kompas.com - 05/06/2011, 04:23 WIB

Budi Suwarna

Bondan Nusantara (59), pelaku seni pertunjukan kethoprak di Yogyakarta itu, merasa rumahnya milik berdua. Setengah miliknya, setengah lagi milik kethoprak.

”Tanpa kethoprak, rumah ini mungkin tidak akan pernah ada,” ujar Bondan, Sabtu (21/5) di rumahnya di kawasan Kasongan, Bantul, DI Yogyakarta. Dia bercerita bagaimana rumah tersebut bisa didirikan.

Syahdan, tahun 1980-an, Bondan hampir setiap hari masuk keluar kampung di Bantul untuk melatih kesenian rakyat itu. Kadang, dia datang sekadar nongkrong bersama seniman lain hingga lepas malam, bahkan sampai pagi.

Gaya hidup Bondan ketika itu mengalir seperti angin. Bebas seperti burung yang tidak punya sarang. Karena itu, konsep tentang rumah belum ada di kepalanya. Yang ada adalah kesenian. Pada era 1990-an, temannya sesama seniman, Buang, mengusik kesadarannya tentang rumah. Suatu ketika dia bertanya apakah Bondan sudah punya rumah? Bondan menjawabnya dengan gelengan kepala.

Buang selanjutnya menyarankan Bondan untuk membuat rumah, apalagi saat itu Bondan telah berkeluarga dan memiliki seorang anak. Ia bahkan mendapat tawaran sebidang tanah seluas 350 meter persegi di kawasan Kasongan. Tawaran itu menggoda Bondan. Setelah dipikir masak-masak, akhirnya Bondan setuju membeli sepetak tanah tersebut. Persoalannya, dia tidak punya uang. Untunglah, Buang menyilakan Bondan untuk membeli secara mencicil.

Tanah itu pun berpindah ke tangan Bondan. ”Setiap gajian atau dapat honor manggung, saya sisihkan sebagian untuk bayar cicilan,” ujar Bondan yang ketika itu bekerja sebagai wartawan surat kabar harian Bernas selain main kethoprak.

Singkat cerita, setelah dua tahun, Bondan bisa melunasi seluruh cicilan tersebut. Meski begitu, dia belum bisa mendirikan sebuah rumah. Persoalannya lagi-lagi karena uangnya terlampau cekak. Sisa uang yang dimilikinya hanya cukup untuk membuat fondasi rumah. Bondan kemudian nekat ”menyekolahkan” alias menggadaikan sertifikat tanahnya ke pegadaian. Dari uang hasil gadai sertifikat itu, Bondan memperoleh uang untuk membangun sebuah kamar.

Untuk membangun sebuah rumah utuh, Bondan mesti menabung lagi dari sisa gaji dan honornya. ”Kalau punya uang lebih, saya beli batu dan kusen pada teman-teman. Biar murah,” ujarnya.

Setelah 1,5 tahun, Bondan akhirnya berhasil mendirikan sebuah rumah utuh. Bentuknya sederhana. Bagian depan terdiri dari ruang tamu dan ruang keluarga yang memanjang. Ruang itu langsung berhadapan dengan deretan empat kamar tidur. Di belakang rumah ada dapur, kamar mandi, dan sebuah paviliun kecil. Ukuran keseluruhannya sekitar 150 meter persegi.

Gempa dan filosofi

Kami pernah berkunjung ke rumah Bondan pascagempa besar mengguncang Yogyakarta tahun 2006. Ketika itu, rumah Bondan rusak meski tidak parah. ”Setelah gempa, ada beberapa seniman yang menyumbang kayu, batu, dan semen untuk memperbaiki rumah saya. Praktis saya tidak mengeluarkan uang,” kata Bondan.

Dari situ Bondan kian meyakini prinsip hidupnya: kalau kita memberi, suatu saat kita akan menerima. ”Itu sifat alam,” ujarnya.

Bondan menegaskan, dia bisa punya rumah karena dibantu teman-teman sesama seniman. Karena itu, dia berusaha mengembalikan apa yang pernah dia terima dengan cara membuka rumah tersebut lebar-lebar bagi sesama seniman.

”Mereka bisa datang kapan saja. Mau nongkrong sampai pagi, silakan. Mau menginap di sini, monggo. Mau makan mi, tinggal bikin di dapur. Saya tahu di dalam rumah ini ada hak para seniman kethoprak dan jathilan.”

Saking terbukanya, Bondan membiarkan pagar rumahnya tanpa pintu. Dengan begitu, seniman yang ingin bertandang tidak perlu mengetuk pintu.

Rumah Bondan mengandung banyak idiom keterbukaan dan sikap egaliter. Pintu depan rumahnya, misalnya, dihiasi ukiran tokoh wayang Hanoman. Tokoh itu dipilih karena merupakan simbol rakyat. ”Jadi, rumah saya ini, rumahnya rakyat.”

Dia merancang lantai teras depan rumahnya lebih tinggi sekitar 15 sentimeter dari lantai bagian dalam. Ini menyimbolkan bahwa tuan rumah selalu ingin meninggikan derajat tetamu.

Di pekarangan rumah, Bondan menanam pohon pacar yang dalam filosofi Jawa, menurut Bondan, bersifat menyenangkan orang. ”Saya ingin teman-teman dan tamu yang ke sini hatinya senang. Mereka seperti datang ke rumah pacar, ha-ha-ha...,” ujar Bondan diikuti derai tawa.

Selain itu, Bondan juga menanam pohon mangga yang menurut dia bisa dilafalkan monggo dalam bahasa Jawa yang artinya ’silakan’. Itu simbol bahwa tuan rumah selalu menyilakan siapa saja untuk datang.

Monggo mampir, Mas! Matur nuwun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com