Status Gunung Dieng (2.093 meter di atas permukaan laut) hingga Kamis (1/6) sore masih Siaga. Konsentrasi karbon dioksida (CO) yang terpantau petugas Pos Pengamatan Gunung Api Dieng rata-rata berkisar 1,5-1,8 persen volume. Sesuai standar internasional, konsentrasi gas beacun setinggi itu sudah masuk kategori mematikan.
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono yang datang ke lokasi sejak Senin (30/5) menyatakan, kondisi ekologi Dieng yang sudah gundul meningkatkan ancaman gas beracun. ”Bagaimanapun, secara wajar, lingkungan akan membentuk sistem mitigasinya sendiri. Jika mitigasi alamiah itu dirusak, tentunya akan menyebabkan ketimpangan sistem,” katanya.
Aktivitas gunung berapi di Dieng didominasi oleh letusan freatik (letusan yang terjadi ketika magma yang sedang bergerak naik ke atas bersentuhan dengan permukaan air tanah sehingga terbentuk uap panas bertekanan sangat tinggi dan menjebol lapisan tanah di atasnya) dan aktivitas panas bumi (fumarol, solfatara, kolam lumpur, dan sumber air panas).
Gunung Dieng terkenal karena pelepasan gas beracun CO (karbon monosida) dan CO. Emisi karbon dioksida juga dapat merusak vegetasi sekitarnya, dan dikenal masyarakat dengan sebutan ”lembah kematian”.
Gunung Dieng memiliki setidaknya 10 kawah, yakni
Sejarah lagi-lagi mencatat, dataran tinggi yang juga menjadi obyek wisata candi terkemuka di Jawa Tengah selain Borobudur ini pernah menelan korban jiwa ratusan orang. Sejak 1786, PVMBG mencatat setidaknya terjadi 16 kali bencana kegunungapian. Beberapa di antaranya, pada 1928 semburan gas beracun CO dan CO di Kawah Timbang mengakibatkan 39 korban meninggal dan pada 1939 aktivitas di kawah yang sama mengakibatkan 10 jiwa melayang.
Tahun 1944, Kawah Sileri meletus. Terjadi hujan lumpur yang menimpa Desa Kepakisan, Sekalem, Sidolok, Pagerkandang, Jawera, dan Kepakisan Lor. Letusan ini mengakibatkan 114 korban tewas terkena lumpur panas dan gas beracun. Terakhir pada 1979 erupsi freatik di Kawah Sinila menyebabkan munculnya gas beracun dari Kawah Timbang dan mengakibatkan 149 warga Desa Kepucukan meninggal. Sesudahnya, Desa Kepucukan dihapuskan dari peta Banjarnegara dan semua warganya ditransmigrasikan ke Sumatera.
Sejak awal 1980-an mata pencaharian utama warga Dieng, termasuk Desa Sumberejo yang berada paling dekat dengan Kawah Timbang, adalah bertani kentang. Penggundulan secara masif dilakukan dengan menebangi pohon yang menghampar di seluruh perbukitan.
Hal ini diakui Sutikno, mantan Kepala Desa Kepucukan yang menjabat saat tragedi Sinila. ”Saat tragedi Sinila, pepohonan masih cukup rimbun di perbukitan sekitar Kawah Timbang. Sekarang masyarakat sudah terjebak dengan pertanian kentang. Mereka tak memikirkan dampak ekologis yang ditimbulkan,” tuturnya.
Saat ini luas kebun kentang dalam radius 2 kilometer di sekitar Kawah Timbang mencapai 150 hektar. Menurut Pelaksana jabatan sementara (Pjs) Kepala Desa Sumberejo H Ibrahim, meskipun harganya fluktuatif, kentang menjadi komoditas pertanian utama warga karena paling mudah dijual.
Padahal, menurut Surono, keberadaan pepohonan di sekitar kawah setidaknya dapat menekan dampak gas beracun. Pertama, menguatkan tekstur geografis sehingga mengurangi kemungkinan terbentuknya rekahan-rekahan tanah yang dapat menjadi lubang keluar gas. Kedua, tegakan pohon dapat menghambat laju rambatan gas beracun ke permukiman warga.
Surono menggambarkan, saat bencana letusan Merapi 2010 lalu, kecepatan awan panas di lahan yang sudah gundul dalam semenit bisa mencapai 3 kilometer. Padahal, pada 1970-an, saat hutan masih asri, kecepatannya hanya sekitar 500 meter per menit.
Sebab, gas mempunyai sifat seperti air yang mengalir dari tempat (tekanan) tinggi ke tempat (tekanan) rendah sehingga akan terhambat saat membentur materi yang padat.
”Setidaknya memberi waktu lebih lama bagi warga untuk menyelamatkan diri. Kalau sekarang, gas kan bisa meluncur seperti lewat jalan tol saja. Sayangnya warga seperti tidak mau menyadari bahaya tersebut,” tutur Surono.
Kegusaran Surono beralasan. Kendati telah diinstruksikan untuk menghentikan aktivitas dalam radius 1-2 kilometer di sekitar kawah, masih saja banyak warga yang nekat kembali ke permukiman dan menggarap lahan kentangnya.
Padahal, karakteristik gas beracun tidak seperti awan panas ataupun lahar yang bisa dilihat dan diprediksi kecepatan lajunya. Sebab, gas-gas seperti CO, CO tidak dapat dibaui dan dilihat secara kasatmata (
Oleh karena itu, dari kajian geologis, sistem bercocok tanam masyarakat seyogianya diubah. Setidaknya dengan sistem selang-seling. Jadi tidak ditanami kentang sepanjang tahun. Lalu, pada radius 2 kilometer di sekitar kawah sebaiknya tidak untuk permukiman.
Upaya penyadaran warga untuk melakukan sistem tumpang sari bukannya tidak pernah dilakukan. Bupati Banjarnegara Djasri beberapa kali mendorong warga untuk melakukan tumpang sari kentang dengan komoditas kopi. ”Sosialisasi sudah berulang kali dilakukan. Tetapi, warga belum bisa menerimanya,” kata Djasri.
Program perubahan sistem bercocok tanam ini didukung Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo. Bahkan, ia menyebut, ”penyakit alam” di Dieng sudah kronis. Tanaman kentang sudah terbukti menggerogoti lingkungan. Untuk
Upaya relokasi warga dari dusunnya yang masuk ke dalam kawasan berbahaya boleh jadi akan sangat sulit karena mene-
Hanya saja, upaya penyelamatan lingkungan Dieng dengan mengganti tanaman kentang dengan komoditas yang lebih kokoh memang tidak mudah. Harus dicari komoditas pengganti yang juga menguntungkan. Karena itu, perlu sinergi dan ketegasan seluruh elemen, termasuk pemerintah daerah.
Sistem tumpang sari antara sayur-mayur dan kopi, misalnya, bisa jadi akan menguntungkan petani juga....