Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Belum Jalankan Pancasila

Kompas.com - 01/06/2011, 05:12 WIB

Jakarta, Kompas - Semua rezim yang memerintah Indonesia sejak merdeka hingga saat ini dinilai gagal dalam menjalankan Pancasila sebagai ideologi negara dengan benar. Cita-cita mendirikan negara melalui sistem politik dan ekonomi yang dapat mewujudkan kesejahteraan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia belum mampu diwujudkan pemerintahan mana pun.

Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia Anhar Gonggong di Jakarta, Senin (31/5), mengakui, Soekarno bisa dianggap sebagai pencetus Pancasila melalui pidatonya di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Namun, ia pun belum mampu mewujudkan cita-cita negara berdasarkan Pancasila melalui kepemimpinannya.

Lima tahun pertama periode kepemimpinannya, Soekarno dihadapkan pada situasi sulit mempertahankan kemerdekaan karena Belanda ingin berkuasa kembali. Dalam periode demokrasi liberal tahun 1950-1958, kata Anhar, ternyata pemerintahan tidak berjalan stabil. Kabinet jatuh bangun sehingga cita-cita mewujudkan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial pun jauh dari harapan.

Pemerintahan Orde Baru, yang mengklaim menjalankan pembangunan sesuai dengan Pancasila, kata Anhar, pada kenyataannya menjalankan ekonomi neoliberalisme. Sekarang pun kondisinya tidak berubah.

Bahkan, lanjut Anhar, lebih mudah membuat kategori apakah pemerintahan saat ini dijalankan sesuai dengan ideologi Pancasila atau tidak. ”Pertanyaannya mudah, pancasilaiskah jika DPR ingin membangun gedung baru senilai Rp 1 triliun lebih jika pada saat yang sama ada satu kecamatan di Jawa Tengah yang mayoritas penduduknya idiot,” katanya.

Yudi Latif, Direktur Reform Institute, yang juga penulis buku Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, mengatakan, Pancasila semestinya menjadi moral bersama yang mempertautkan elemen semua agama dalam pengaturan ruang publik di Indonesia. Pancasila sebagai titik temu solidaritas kolektif saat ini mendapat ancaman serius dari meruaknya aspirasi politik identitas yang membonceng arus globalisasi dan lokalisasi.

Secara terpisah, pakar studi Tionghoa dari Universitas Tunku Abdul Rahman, Malaysia, Ho Khai Leong, dalam seminar ”Kesamaan San Min Chu I dan Pancasila” di Jakarta, Selasa, mengatakan, penerapan Pancasila masih dalam tahap awal pada kehidupan bernegara. Indonesia harus mendarahdagingkan (internalisasi) Pancasila.

”Sun Yat Sen saat merumuskan San Min Chu I, yang kemudian diambil sebagai tiga dari lima pasal Pancasila, tidak mengalami tentangan dari kelompok agama. San Min Chu I adalah filosofi sosial-demokratis yang minus elemen agama, tetapi dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat Taiwan sehingga menjadi negara modern dan demokratis,” ujar Ho.

Ahli filsafat dari Sekolah Tinggi Studi Internasional S Rajaratnam, Singapura, Alan Chong Chia Siong, menambahkan, tantangan terbesar Pancasila adalah kemauan dan konsistensi dalam menanamkan filosofi negara tidak sebatas retorika belaka.

Dalam seminar kebangsaan yang diadakan Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan dan Putra-Putri TNI-Polri (FKPPI) di Jakarta, Selasa, mantan Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat Letnan Jenderal (Purn) Kiki Syahnakri mengingatkan, Pancasila digali Soekarno dari budaya bangsa, dengan mempelajari ideologi yang sudah ada di dunia waktu itu. Pancasila menjadi sistem budaya dan demokrasi hasil perpaduan lokalitas dan universalitas serta perpaduan realisme dan idealisme.

(INA/BIL/ONG/WSI/TIF/ARA/ZAL)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com