Jakarta, Kompas
Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia Anhar Gonggong di Jakarta, Senin (31/5), mengakui, Soekarno bisa dianggap sebagai pencetus Pancasila melalui pidatonya di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Namun, ia pun belum mampu mewujudkan cita-cita negara berdasarkan Pancasila melalui kepemimpinannya.
Lima tahun pertama periode kepemimpinannya, Soekarno dihadapkan pada situasi sulit mempertahankan kemerdekaan karena Belanda ingin berkuasa kembali. Dalam periode demokrasi liberal tahun 1950-1958, kata Anhar, ternyata pemerintahan tidak berjalan stabil. Kabinet jatuh bangun sehingga cita-cita mewujudkan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial pun jauh dari harapan.
Pemerintahan Orde Baru, yang mengklaim menjalankan pembangunan sesuai dengan Pancasila, kata Anhar, pada kenyataannya menjalankan ekonomi neoliberalisme. Sekarang pun kondisinya tidak berubah.
Bahkan, lanjut Anhar, lebih mudah membuat kategori apakah pemerintahan saat ini dijalankan sesuai dengan ideologi Pancasila atau tidak. ”Pertanyaannya mudah, pancasilaiskah jika DPR ingin membangun gedung baru senilai Rp 1 triliun lebih jika pada saat yang sama ada satu kecamatan di Jawa Tengah yang mayoritas penduduknya idiot,” katanya.
Yudi Latif, Direktur Reform Institute, yang juga penulis buku
Secara terpisah, pakar studi Tionghoa dari Universitas Tunku Abdul Rahman, Malaysia, Ho Khai Leong, dalam seminar ”Kesamaan San Min Chu I dan Pancasila” di Jakarta, Selasa, mengatakan, penerapan Pancasila masih dalam tahap awal pada kehidupan bernegara. Indonesia harus mendarahdagingkan (internalisasi) Pancasila.
”Sun Yat Sen saat merumuskan San Min Chu I, yang kemudian diambil sebagai tiga dari lima pasal Pancasila, tidak mengalami tentangan dari kelompok agama. San Min Chu I adalah filosofi sosial-demokratis yang minus elemen agama, tetapi dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat Taiwan sehingga menjadi negara modern dan demokratis,” ujar Ho.
Ahli filsafat dari Sekolah Tinggi Studi Internasional S Rajaratnam, Singapura, Alan Chong Chia Siong, menambahkan, tantangan terbesar Pancasila adalah kemauan dan konsistensi dalam menanamkan filosofi negara tidak sebatas retorika belaka.
Dalam seminar kebangsaan yang diadakan Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan dan Putra-Putri TNI-Polri (FKPPI) di Jakarta, Selasa, mantan Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat Letnan Jenderal (Purn) Kiki Syahnakri mengingatkan, Pancasila digali Soekarno dari budaya bangsa, dengan mempelajari ideologi yang sudah ada di dunia waktu itu. Pancasila menjadi sistem budaya dan demokrasi hasil perpaduan lokalitas dan universalitas serta perpaduan realisme dan idealisme.