Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pesawat China, Ada Apa?

Kompas.com - 25/05/2011, 02:56 WIB

Chappy Hakim

Pesawat MA-60 buatan China mengalami kecelakaan di perairan lepas pantai Kaimana, Papua, sesaat menjelang pendaratan. Kecelakaan itu kemudian memicu kehebohan tentang prosedur pengadaan pesawat MA-60 yang konon belum memiliki sertifikat dari FAA, Federal Aviation Administration.

 

Seyogianya, dengan menundukkan kepala sebagai tanda turut berduka, yang harus dilakukan adalah fokus pada proses investigasi terhadap faktor penyebab kecelakaan tersebut.

Sertifikat FAA

Perlu tidaknya sertifikasi FAA bagi pesawat yang akan digunakan di Indonesia menjadi hak mutlak dari otoritas penerbangan sipil nasional, yang dalam hal ini adalah Kementerian Perhubungan. Namun, dari sudut pandang lain, ada pula pertimbangan yang harus jadi perhatian serius Pemerintah Indonesia dalam merilis MA-60 untuk dapat beroperasi sebagai pesawat sipil komersial di Indonesia.

FAA adalah badan yang berada di bawah naungan Departemen Transportasi Amerika Serikat. Seluruh regulasi dan peraturan tentang penerbangan sipil yang dikeluarkan FAA jadi acuan standar keamanan terbang bagi hampir semua negara di dunia, terutama negara-negara anggota International Civil Aviation Organization (ICAO). ICAO sendiri adalah institusi penerbangan yang berada di bawah PBB.

FAA memiliki sejarah panjang dan detail tentang pola pengaturan keamanan terbang, terutama bagi pesawat-pesawat yang diproduksi dan dioperasikan di AS. Dalam perkembangan kemudian, FAA juga bertanggung jawab terhadap pengoperasian pesawat-pesawat produksi Amerika yang dioperasikan di luar Amerika. Tanggung jawab di sini terutama dalam hal harus dipatuhinya semua persyaratan dan regulasi standar keamanan terbang yang dikeluarkan FAA.

Bagi Indonesia, sampai tahun 1997, hasil penilaian FAA terhadap otoritas penerbangan nasional masih menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia sebagai pemegang otoritas penerbangan sipil diakui compliance with ICAO standards. Artinya, otoritas penerbangan nasional Indonesia diakui memenuhi syarat dalam standar keselamatan terbang internasional seperti yang ditentukan ICAO.

Pada 16 April 2007, dalam siaran pers No AOC 12-07—guna menindaklanjuti begitu banyak kecelakaan pesawat terbang di Indonesia—FAA menurunkan penilaiannya terhadap Indonesia dari kategori 1 ke kategori 2. Ini berarti otoritas penerbangan Indonesia ditengarai tidak melaksanakan sepenuhnya ketentuan dan regulasi yang berkait dengan standar minimum keselamatan terbang internasional seperti yang ditentukan oleh ICAO.

Masih segar dalam ingatan kita tentang larangan bagi semua pesawat Indonesia untuk terbang ke Eropa, yang merupakan tindak lanjut dari tindakan FAA tersebut. Dengan demikian, keputusan otoritas penerbangan Indonesia yang mengabaikan sertifikasi FAA dalam pengoperasian pesawat MA-60 di Indonesia sangat merugikan posisi Indonesia di panggung penerbangan sipil global, terutama dalam aspek pemenuhan standar minimum persyaratan keselamatan terbang internasional.

Pengabaian tersebut memang tidak salah, tetapi yang pasti akan menjadi sesuatu yang kurang menguntungkan posisi pemerintah kita dalam hal kepedulian terhadap keselamatan terbang. Tindakan ini menjadi semacam konfirmasi bahwa kita memang tidak atau belum bisa memenuhi standar minimum keselamatan terbang dari ICAO, seperti yang dikatakan oleh FAA.

Penyelidikan kecelakaan

Saat ini yang sangat penting adalah berkonsentrasi pada penyelidikan terhadap penyebab sesungguhnya kecelakaan pesawat MA-60 di Kaimana itu. Dengan penyelidikan yang cermat, banyak masalah akan terungkap dari begitu banyak permasalahan yang tengah dihadapi dalam dunia penerbangan kita saat ini.

Sekadar contoh, sebagai tindak lanjut pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, ada beberapa hal yang harus ditindaklanjuti dalam konteks penyelenggaraan operasi penerbangan yang berkait langsung dengan keselamatan dan keamanan terbang. Satu di antara yang paling penting adalah perlu segera memosisikan Komite Nasional Keamanan Transportasi (KNKT) keluar dari Kementerian Perhubungan dan berada langsung di bawah kendali Presiden.

Hal ini dimaksudkan agar hasil penyelidikan penyebab kecelakaan tidak terkendala dengan posisi KNKT yang berada di bawah Menteri Perhubungan. Apalagi jika di lapangan ditemui fakta bahwa penyebab suatu kecelakaan berhubungan dengan tugas Kementerian Perhubungan sebagai regulator atau otoritas penerbangan nasional.

Obyektivitas penyelidikan adalah hal yang hendak dicapai dengan langkah ini. Sebab, pada prinsipnya tujuan kegiatan penyelidikan terhadap penyebab kecelakaan pesawat terbang hanya satu, yaitu agar kecelakaan serupa tidak terulang kembali.

Di samping itu, masih ada beberapa hal lain yang harus dikerjakan pasca-diundangkannya UU Penerbangan, di antaranya pembentukan lembaga mahkamah penerbangan. Lembaga ini perlu agar kasus memalukan seperti menimpa kapten pilot Marwoto—menyusul kecelakaan di Yogyakarta—yang dipidanakan beberapa waktu lalu tidak terulang kembali.

Masih banyak masalah yang harus segera diselesaikan, yang semuanya berhubungan langsung dengan penyelenggaraan operasi penerbangan yang berbasis pada standar keselamatan dan keamanan terbang internasional. Pekerjaan rumah ini kiranya jauh lebih penting untuk segera diselesaikan daripada sekadar terjerumus dalam kehebohan mengenai proses pengadaan pesawat China yang kini tengah bergulir.

Di atas segalanya, faktor keselamatan bagi semua pengguna jasa angkutan udara di Tanah Air harus senantiasa menjadi prioritas yang utama.

Chappy Hakim Mantan Ketua Timnas Evaluasi Keselamatan dan Keamanan Transportasi (EKKT)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com