JAKARTA, KOMPAS.com — Kepolisian menilai, perpanjangan masa penahanan sementara orang yang diduga terlibat terorisme dari 7 hari menjadi 30 hari tidak melanggar hak asasi manusia. Sebaliknya, kepolisian menilai, perpanjangan itu dapat melindungi HAM masyarakat luas.
Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Kombes Boy Rafli Amar mengatakan, pihaknya mengalami kendala jika melihat pengalaman selama delapan tahun penerapan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme.
Terkadang, kata Boy, pihaknya terkendala waktu yang hanya diberikan 7 hari untuk membuktikan keterlibatan orang yang ditangkap seperti dalam UU Terorisme. Akibatnya, kata Boy, penyidik Densus 88 Antiteror kesulitan mengembangkan jaringan terorisme.
"Apabila di dalam proses pembuktian pada saat ditangkap penyidik memiliki waktu yang lebih, peluang yang dimiliki penyidik akan lebih baik untuk mengembangkan lebih luas lagi," kata Boy di Mabes Polri, Kamis (12/5/2011). Boy dimintai tanggapannya tentang Rancangan Undang-Undang Terorisme yang memberikan kewenangan penyidik menahan terduga teroris selama 30 hari.
"Terorisme ini kejahatan luar biasa. Kejahatan yang harus ditangani dengan cara-cara yang luar biasa. Tidak bisa dengan cara-cara yang normal. Ini semua untuk melindungi masyarakat luas. Kalau ini dikatakan melanggar HAM, justru menurut kami untuk melindungi hak asasi manusia yang lebih luas," ucap Boy.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.