Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

RUU KUHAP yang Lama Terabaikan

Kompas.com - 19/04/2011, 05:00 WIB

Oleh Ferry Santoso

Pembahasan revisi terhadap Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah berlangsung selama 10 tahun. Menginjak tahun ke-11, draf Rancangan Undang-Undang revisi UU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana itu belum juga pernah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. 

Padahal, KUHAP menjadi acuan penting dalam sistem peradilan pidana. Revisi terhadap KUHAP yang memberikan peran kepada hakim komisaris diharapkan dapat menjadi ”alat kontrol” bagi aparat penyidik dan penuntut melakukan upaya paksa, khususnya penahanan.

Ironisnya, saat RUU KUHAP selalu terganjal dibahas dorongan untuk mengegolkan RUU Intelijen justru semakin kuat. RUU Intelijen yang memberi kewenangan kepada aparat intelijen untuk melakukan upaya paksa, seperti penangkapan, dikhawatirkan dapat mengacaukan sistem peradilan pidana dan bertentangan dengan semangat RUU KUHAP yang ingin merevisi aturan lama.

Ahli hukum pidana, yang ikut pembahasan revisi RUU KUHAP selama ini, Andi Hamzah, mengakui, pembahasan draf RUU itu sudah lama dilakukan. Beberapa menteri kehakiman, juga setelah berubah nama menjadi menteri hukum dan hak asasi manusia, pun sudah silih berganti.

”Pembahasan revisi UU KUHAP sudah dilakukan sejak tahun 1999. Sudah banyak uang habis untuk pembahasan. Studi banding juga dilakukan ke banyak negara,” kata Andi.

Mengapa RUU KUHAP selalu terganjal? Memang banyak alasan yang dapat diungkap. Setiap menteri, khususnya Menteri Hukum dan HAM, tentu memiliki pertimbangan sendiri, terkait dengan revisi UU KUHAP.

Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Restaria Hutabarat menilai pembahasan RUU KUHAP lambat karena ada resistensi dari institusi penegak hukum.

Oleh karena itu, kata Restaria, peran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengoordinasikan antarinstitusi penegak hukum, seperti Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Polri, Kejaksaan Agung, serta Mahkamah Agung, sangat penting. Dengan demikian, pembahasan RUU KUHAP dapat dilaksanakan di DPR.

Salah satu alasan penting pembahasan draf RUU KUHAP selalu terganjal adalah bahwa draf RUU KUHAP memuat ketentuan yang dapat mengontrol kewenangan penyidik kepolisian. Penyidik tidak dapat menentukan sendiri perpanjangan penahanan, tanpa persetujuan hakim komisaris.

Selain masalah perpanjangan penahanan, masih ada beberapa ketentuan dalam draf RUU KUHAP yang mengatur kewenangan hakim komisaris. Misalnya, penggeledahan dan penyitaan oleh penyidik harus mendapat izin atau persetujuan hakim komisaris.

Andi Hamzah, yang juga Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Jakarta, menambahkan, selama ini memang banyak alasan yang dikemukakan untuk tidak menyetujui RUU KUHAP. ”Namun, alasan yang paling penting adalah bahwa RUU KUHAP dapat mengunci peran makelar kasus,” kata Andi.

Dengan adanya peran hakim komisaris, setiap aparat, baik hakim komisaris, jaksa, maupun penyidik kepolisian, dapat saling terkontrol dari kemungkinan terjadinya praktik yang sewenang-wenang dari oknum aparat penegak hukum.

Perpanjangan penahanan

Kewenangan hakim komisaris itu, misalnya menentukan perpanjangan penahanan, sebenarnya bukan berarti kewenangan penyidik untuk melakukan penangkapan dibatasi. Penyidik tetap memiliki kewenangan menangkap tanpa persetujuan hakim komisaris.

Akan tetapi, menurut Andi, sesuai dengan ketentuan dalam ketentuan draf RUU KUHAP, dalam jangka waktu lima hari setelah penangkapan, penyidik kepolisian dan jaksa harus mendapat persetujuan hakim komisaris untuk memperpanjang masa penahanan selama 25 hari.

Oleh karena itu, Andi menilai alasan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar bahwa polisi yang menangkap tersangka di daerah terpencil sulit meminta persetujuan hakim komisaris sulit diterima. ”Polisi memiliki waktu lima hari bersama jaksa untuk meminta persetujuan hakim komisaris untuk memperpanjang masa penahanan,” kata Andi lebih lanjut.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar pernah mengatakan, pemerintah tentu akan memproses RUU KUHAP pada waktunya. Saat ini KUHAP sudah berjalan dengan baik. ”Memang ada keinginan untuk menyempurnakan. Namun, perlu kajian lagi lebih mendalam,” kata dia.

Patrialis mencontohkan, ketentuan bahwa penyidik, seperti polisi, harus mendapatkan izin penangkapan atau penahanan dari hakim komisaris. ”Wilayah Indonesia begitu luas dan merupakan wilayah kepulauan. Bayangkan, kalau polisi harus meminta izin dulu hakim komisaris setiap kali mau menangkap, apalagi di daerah terpencil. Itu kan tidak mudah dan penjahatnya keburu lolos,” katanya.

Kondisi tersebut, lanjut Patrialis, juga dapat menjadi kontraproduktif. Aparat kepolisian dapat dinilai tidak dapat menjalankan tugas dengan baik. Namun, Patrialis mengakui bahwa kewenangan aparat polisi dalam penangkapan dan penahanan harus dapat dikontrol mengingat adanya oknum-oknum aparat kepolisian yang berperilaku di luar kontrol (Kompas, 4/4).

Kewenangan penyidik untuk menahan memang perlu dikontrol dengan ketat. Mengapa? Sudah banyak contoh kasus yang menunjukkan bahwa seorang tersangka yang sebenarnya tidak perlu ditahan akhirnya ditahan.

Akibatnya, rumah tahanan, termasuk lembaga pemasyarakatan (LP), menjadi penuh. Sistem dan manajemen pemenjaraan pun menjadi buruk dan menimbulkan masalah baru. Misalnya, pengawasan yang lemah sehingga terjadi praktis penyalahgunaan narkotika atau ”jual beli” ruang sel.

Hakim komisaris

Soal jumlah hakim yang masih kurang untuk dapat dijadikan hakim komisaris, Andi berpendapat, hal itu tidak terlalu menjadi masalah. Hakim komisaris dapat dijabat oleh hakim ketua pengadilan negeri di setiap kota atau kabupaten. Atau, hakim komisaris dijabat oleh petugas pelaksana yang dijabat wakil ketua pengadilan negeri.

Masalah teknis tersebut sebenarnya dapat diatasi kalau pemerintah ingin memperbaiki sistem hukum dan sistem peradilan pidana serta mengurangi praktik makelar kasus dalam sistem peradilan pidana dengan merevisi KUHAP.

Apalagi, sistem hukum yang menjamin hak sipil dari praktik kesewenang-wenangan oknum aparat diamanatkan dalam Undang-Undnag Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com