Jakarta, Kompas
”Selain itu, RUU Intelijen juga belum sepenuhnya mengakomodasi peraturan lain yang penting untuk dipertimbangkan, khususnya konstitusi. RUU Intelijen bertentangan dengan KUHAP terkait dengan kewenangan penangkapan. KUHAP mengatur kewenangan penangkapan ada di tangan penegak hukum, khususnya polisi, dan didampingi pengacara. Penangkapan diketahui keluarga dan dilaporkan kepada ketua RT serta masa penangkapan 1 x 24 jam. RUU Intelijen mengatur bahwa pemeriksaan intensif bisa dilakukan intelijen negara ataupun intelijen militer tanpa didampingi pengacara dan diketahui keluarga serta ketua RT setempat. Tindakan itu bisa dilakukan dalam 7 x 24 jam. Itu berarti RUU Intelijen melegalisasikan penculikan,” ujar Al Araf.
Pertentangan dengan RUU Terorisme terdapat dalam kewenangan menyadap, yakni Pasal 31 UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme, yang menyatakan, berdasarkan bukti permulaan yang cukup, penyadapan oleh penyidik hanya dapat dilakukan atas perintah ketua pengadilan negeri. Sementara di dalam RUU Intelijen dinyatakan, penyadapan yang ditujukan kepada pelaku teroris tidak memerlukan izin pengadilan.
”Penyadapan tanpa batas, yakni tanpa mekanisme baku, bertentangan dengan konstitusi dan UU Hak Asasi Manusia yang mengakui hak privasi warga negara,” kata Al Araf melanjutkan.(ONG)