Jakarta, Kompas -
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan, Rabu (6/4) di Jakarta, mengatakan, sepanjang tiga tahun sebagai daerah persiapan, pembiayaan akan dibagi antara daerah induk dan pemerintah pusat. Oleh karena itu, sarana prasarana dan alat kerja bisa diwujudkan.
Perangkat daerah dan aparatur akan dibantu dari daerah induk dan provinsi. Sementara kelembagaan pemerintah daerah persiapan dibina dan diawasi pemerintah pusat, provinsi, dan daerah induk.
Daerah persiapan juga cukup ditetapkan dalam peraturan pemerintah selama tiga tahun. Pada akhir periode, evaluasi terkait kesiapan pelayanan publik, kesiapan pemilihan kepala daerah, dan kesiapan pemilihan DPRD dilakukan. Indikator rinci terkait kondisi sumber daya manusia aparatur, keuangan daerah, dan tata kelola pemerintahan daerah juga digunakan untuk evaluasi.
Dalam rapat kerja dengan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Senin (4/4), anggota Komisi II, Amrun Daulay, mempertanyakan syarat pendapatan asli daerah (PAD) untuk pembentukan daerah otonomi baru. Kenyataannya, menurut Amrun, ada daerah dengan PAD rendah mengajukan pemekaran karena masalah suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) atau kepentingan politik elite yang ingin menjadi kepala daerah.
Menurut Djohermansyah, daerah otonomi baru yang sehat dan mandiri semestinya memiliki PAD setidaknya 60 persen dari APBD. Adapun porsi dana transfer yang dikucurkan dari APBN semestinya tidak lebih dari 40 persen. ”Saat ini rata-rata PAD daerah otonomi baru paling banyak 10 persen, sedangkan dana transfernya (dari APBN) 90 persen,” ujarnya.
Ketika daerah persiapan