Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kartu Jamkesda Pun Diperjualbelikan hingga Rp 2 Juta

Kompas.com - 06/04/2011, 06:24 WIB

Kompas.com - Praktik-praktik penyalahgunaan kewenangan benar-benar mewabah di negeri ini. Pelakunya bukan hanya pejabat tinggi, melainkan juga sampai tingkat akar rumput.

Pembagian kartu Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) pun ternyata tak luput dari praktik itu. Tersangka pelaku adalah oknum pengurus rukun warga (RW) dan rukun tetangga (RT) setempat.

Kartu Jamkesda itu diperjualbelikan Rp 500.000-Rp 2 juta per orang. Padahal, kartu itu semestinya dibagikan secara gratis kepada keluarga miskin untuk meringankan biaya pengobatan.

Tim Pemantau Program Jamkesda yang ditunjuk Pemerintah Kota Depok dari Mitra Pembangunan Depok (Miped) menemukan kasus ini di Kelurahan Kemiri Muka, Kecamatan Beji, dan Kelurahan Cilangkap, Kecamatan Tapos. ”Temuan ini sedang kami tangani,” tutur tim pemantau dari Miped, M Gufron, Selasa (5/4).

Gufron langsung bergerak, melaporkan temuan tersebut ke Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok Hardiono. Sedikitnya ada empat kartu yang diketahui diperjualbelikan.

Menurut Gufron, praktik jual beli kartu Jamkesda ini terjadi karena banyak warga yang semestinya tidak berhak berusaha mendapatkannya. Kesempatan ini kemudian dimanfaatkan oknum RT/RW yang melakukan pendataan.

Gufron belum bersedia membeberkan secara terbuka oknum RT dan RW tersebut. Soalnya, mereka masih dalam penanganan. Warga yang membeli kartu tersebut juga ada yang sedang menjalani perawatan. Atas alasan kemanusiaan itu, tim pemantau tidak mau menyebutkan nama.

Pendataan

Kepala Dinas Kesehatan Depok Hardiono membenarkan adanya kasus jual beli kartu Jamkesda dan masih dalam pembenahan.

Menurut Hardiono, persoalan paling mendasar pada program Jamkesda Depok terletak pada pendataan peserta. Sejauh ini tim pemantau tidak dapat menemukan data kepesertaan Jamkesda yang valid, mulai di tingkat kelurahan, puskesmas, hingga dinas kesehatan. Semua data di level tersebut berbeda-beda.

Persoalan ini dimulai dari adanya dualisme tim pendataan calon peserta Jamkesda. Pendataan ada yang dilakukan kader posyandu. Ada juga yang dilakukan pihak RT ataupun RW.

Mekanisme pendataan kedua pihak ini juga berbeda. Pihak RT dan RW merekomendasikan usulan ke pihak kelurahan, sedangkan posyandu menyerahkan data ke puskesmas terdekat.

Potret dari kekacauan pendataan ini terlihat di salah satu kelurahan, yaitu Mekarjaya. Lurah Mekarjaya Sutisna mengatakan, dari 1.615 nama yang diajukan sebagai calon peserta Jamkesda, ada 387 orang yang mendapat persetujuan.

Namun, sebagian besar penerima salah sasaran. Kantong kemiskinan di kelurahan tersebut terletak di RW 21 dan RW 22. Namun, pada masing-masing RW itu yang menerima kartu Jamkesda hanya enam orang. Sementara di RW 7 yang mencakup wilayah perumahan justru terjaring 177 orang. ”Kami hanya menerima. Pengusulnya dari RT dan RW. Sementara yang menyetujui dinas kesehatan,” kata Sutisna.

Kacaunya pendataan ini juga membuat pelayanan administrasi terganggu. Ogi Abdul Jabbar (25), warga Kelurahan Mekarjaya, Kecamatan Sukmajaya, merasakan dampaknya. Ia harus bolak-balik dari Rumah Sakit Fatmawati (tempat anaknya dirawat) ke kantor kelurahan, puskesmas, dan kantor dinas kesehatan. Sejak Jumat (1/4) lalu, dia bermaksud menggantikan kepesertaan kartu Jamkesda yang diberikan kepada warga yang sudah meninggal. Baru Selasa sore urusannya kelar. ”Syarat di tingkat kelurahan dan puskesmas berbeda,” keluh Ogi.

Yang sudah mendapatkan kartu Jamkesda pun, dalam praktiknya, masih juga kesulitan mendapatkan pelayanan rumah sakit. Mahmud (42), warga RT 2/RW 1, Kelurahan Mampang, Pancoran Mas, yang mengidap paru-paru bahkan harus meregang nyawa setelah mendapat banyak penolakan.

Seminggu sebelumnya, Mahmud dibawa keluarganya ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Depok. Dokter mendiagnosis Mahmud mengidap tumor paru. Namun, pihak RSUD Depok angkat tangan karena tidak memiliki peralatan untuk merawatnya.

Dua hari kemudian keluarga membawa Mahdmud ke RS Bhakti Yudha karena sesak napasnya kambuh. Namun, tim dokter lagi-lagi menyatakan tidak sanggup karena pasien harus dibedah dan diambil tumornya.

Keluarga selanjutnya membawa Mahmud ke RS Pasar Rebo, Jakarta Timur. Dokter sempat melakukan tindakan medis, tetapi kali ini terkendala ruangan. Ruangan kelas 3, yang ditanggung Jamkesda, sudah penuh. Terpaksa Mahmud dirawat di ruangan yang tidak ditanggung Jamkesda. Mahmud sempat dirawat satu hari di sana. Namun, karena tagihannya mencapai Rp 1,8 juta, keluarga Mahmud pun akhirnya menyerah dan membawa Mahmud pulang. Tiga hari kemudian, Mahmud pun berpulang.

Jual beli Jamkesda ini benar-benar mempersulit mereka yang sudah kesulitan. (NDY)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com