Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Beri Wewenang, tetapi Tetap Ada Pengawasan

Kompas.com - 31/03/2011, 04:03 WIB

Jakarta, Kompas - Rancangan Undang-Undang Intelijen diharapkan dapat memberikan wewenang agar intelijen dapat menjalankan fungsinya dengan optimal. Pada saat yang sama wewenang itu harus diawasi oleh parlemen.

”Penyadapan itu diperlukan intelijen. Kalau tidak, kita akan kecolongan terus,” kata Arie Sudewo, mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS). Ia memaparkan, pada saat ini penyadapan tidak hanya dilakukan oleh Badan Intelijen Negara.

Menurut Arie, penyadapan yang mensyaratkan izin juga secara praktik sulit dilakukan. Jalur birokrasi untuk izin yang membutuhkan waktu, menurut dia, tidak akan bisa dapat mengatasi dinamika lapangan.

Oleh karena itu, solusi yang diajukan Arie adalah dibuatnya sistem internal. Pengaturan ini bisa dilakukan dengan membuat bagian khusus dalam intelijen yang berhak menyadap.

Secara eksternal, untuk penyadapan ini juga bisa dibuat mekanisme kontrol. Pihak yang berhak mengontrol bisa diatur di dalam UU Intelijen itu, misalnya, dibuat subkomisi khusus di dalam Komisi I DPR yang mengawasi intelijen. ”Mereka sebagai wakil rakyat yang berhak mengawasi, termasuk siapa yang disadap dan apa hasilnya,” tutur purnawirawan mayor jenderal ini.

Berkaitan dengan wewenang penangkapan, Arie mengatakan, ia lebih sepakat kalau wewenang itu adalah wewenang penahanan. Ia menjelaskan, salah satu tujuan intelijen adalah untuk mencari informasi. Berbeda dengan polisi yang harus punya bukti untuk menangkap orang karena berkaitan dengan proses hukum, intelijen mencari informasi sebelum kejadian. Dengan demikian, menurut dia, seharusnya intelijen bisa meminta orang datang dan menggali informasi dari orang itu.

Namun, menurut dia, wewenang ini pun harus diatur supaya tidak melanggar HAM. Pengaturan yang ia usulkan adalah adanya mekanisme pemberitahuan kepada pihak keluarga bahwa salah satu anggota keluarganya ditahan. Selain itu, tidak boleh ada penyiksaan fisik ataupun mental. ”Kalau ada kekerasan seperti itu, yah pidana,” ujar Arie.

Staf sipil

Direktur Program Imparsial Al Araf yang dihubungi mengatakan, keberadaan kepemimpinan dan personel sipil dalam lembaga intelijen akan memperbaiki serta mengubah kultur lembaga.

”Kita tidak setuju kewenangan menangkap dengan dalih persoalan bom seperti dikatakan Menteri Pertahanan. Ini menyederhanakan masalah dan jalan pintas yang keliru. Persoalan utama adalah kelemahan negara yang digerogoti masalah politik dan ekonomi, deteksi dini tidak berfungsi, penegakan hukum karut-marut, serta tidak ada keadilan ekonomi,” ujar Al Araf.

Untuk itu, pihaknya mendesak adanya perubahan mendasar dalam personalia organisasi intelijen sebelum merumuskan hak dan tanggung jawab lembaga perumus kebijakan strategis tersebut.

Dia mengingatkan selama ini koordinasi antarlembaga intelijen lemah, kapasitas dan kualitas sumber daya manusia intelijen tidak profesional, penggunaan data intelijen oleh user tidak maksimal, tumpang tindih kewenangan, serta pengawasan lemah terhadap lembaga intelijen.

(EDN/ONG)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com