Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bermimpi Lontar Merimbuni Bulevar Kupang

Kompas.com - 23/03/2011, 03:37 WIB

Frans Sarong

Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Kota Kupang Hendrikus Saba, bersama sejumlah anggota stafnya, Jumat (18/3), menanami bagian tengah pembatas jalan dengan saboak, biji matang lontar. Lokasinya di Jalan El Tari III, yaitu kawasan Desa Lasiana, yang merupakan bagian dari jalan bulevar di Kota Kupang.

Kegiatan itu tentu saja menarik perhatian karena lontar (Borassus flabelifer) termasuk jenis pohon idola Nusa Tenggara Timur (NTT).

Sebagian besar warganya, terutama di lingkungan kelompok etnis Sabu dan Rote, adalah kelompok masyarakat berbudaya lontar. Kehidupan mereka seakan tidak terpisahkan dengan lontar, sejak lahir hingga meninggal.

Lacak saja terutama di pedesaan. Ari-ari dari setiap bayi yang baru dilahirkan dibungkus dalam wadah anyaman daun lontar yang lazim disebut kapisak. Begitu juga ketika tetua terhormatnya meninggal, peti matinya dari potongan pohon lontar yang dinamai kopak. Museum NTT di Kota Kupang hingga tahun 1990-an pernah memiliki koleksi kopak. Namun, karena tidak mendapat perawatan semestinya, koleksi tua dan unik itu pun hancur dan punah.

Selama hidupnya, kelompok masyarakat etnis Sabu dan Rote selalu menyatu dengan jenis pohon keras yang tumbuh di kawasan pesisir dan garang itu. Selain untuk kopak, batangnya yang berusia tua sangat diandalkan untuk balok bangunan rumah yang disebut mopuk.

Tongkol bunga atau mayang pohon lontar disadap hingga menghasilkan gula nira, yang sejak lama menjadi sandaran hidup kelompok warga tersebut.

Selain untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sebagai bahan makanan, hasil menyadap juga menjadi barang jualan untuk membeli kebutuhan lain. Biasanya, sebagian dari sadapan itu langsung diminum sebagai penghalau dahaga karena rasanya sangat manis dan menyegarkan, atau menjadi barang jualan oleh pedagang keliling. Sebagian lain hasil menyadap diproses menjadi gula merah kental atau gula kering yang disebut gula lempeng dan biasa terjual di pasar tradisional di Pulau Sabu, Rote, dan sejumlah pasar rakyat di Kota Kupang.

”Saya sangat setuju ketika ada gagasan menghijaukan kawasan Kota Kupang antara lain dengan lontar. Alasannya, karena lontar merupakan pohon idola sekaligus sumber hidup sebagian warga NTT, termasuk warga beberapa perkampungan di Kota Kupang,” tutur Henrikus Saba.

Gagasan dimaksud ternyata bersumber dari anggota stafnya bernama Yusuf P Jami, yang sehari-hari menjabat Sekretaris Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Kota Kupang. Gagasan itu tentu saja langsung klop karena kedua pejabat sama-sama berasal dari etnis berbudaya lontar, yakni Rote dan Sabu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com