Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kerabat Dilarang Maju

Kompas.com - 12/02/2011, 03:56 WIB

Jakarta, Kompas - Praktik politik kekerabatan atau dinasti politik yang makin marak mengancam eksistensi demokrasi. Pemerintah pun menyiapkan aturan yang melarang kerabat petahana untuk ikut serta mencalonkan diri dalam bursa pemilihan kepala daerah di provinsi yang sama.

Dalam draf RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah, salah satu syarat calon gubernur adalah tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur untuk daerah yang sama, kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang ditemui Kamis (10/2) di Jakarta mengatakan bahwa perlu pembatasan terkait dengan kemunculan para kerabat petahana. ”Ada yang mertuanya jadi gubernur, nanti menantunya jadi wakil. Gubernurnya pamannya, wakilnya keponakan. Boleh ndak itu? Tapi, ini semua belum diputuskan, masih dikaji,” tutur Gamawan.

Kekhawatiran kemunculan kerabat petahana juga disampaikan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan. Pengaturan itu dilakukan supaya tidak terjadi feodalisme di Indonesia. ”Pembatasan kerabat yang maju dalam pemilihan bupati/wali kota ekuivalen dengan pemilihan gubernur,” katanya.

Usul pelarangan kerabat kepala daerah petahana juga disampaikan anggota Komisi II DPR, A Malik Haramain (Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa) dan Taufik Hidayat (Fraksi Partai Golkar) di Jakarta.

Namun, larangan itu hanya berlaku jika kerabat kepala daerah mencalonkan diri di satu provinsi sama. ”Misalnya suami atau istri gubernur, tidak boleh nyalon sebagai gubernur atau bupati/wali kota di satu provinsi yang sama. Tapi, kalau nyalon di provinsi lain, ya tidak masalah,” kata Malik.

Sebenarnya, menurut Taufik, praktik politik kekerabatan juga terjadi di negara-negara maju dan demokratis seperti Amerika Serikat. Politik kekerabatan tidak menjadi masalah sepanjang tokoh politik memiliki kemampuan dan diakui masyarakat.

Akan tetapi, kondisi di Indonesia berbeda. Politik kekerabatan lebih mengedepankan ikatan darah ketimbang kecakapan. Tujuannya hanya untuk mengekalkan kekuasaan keluarga, bukan kesejahteraan rakyat. ”Itu ancaman bagi eksistensi demokrasi. Apalagi berkaitan dengan politik uang,” kata Taufik.

Dengan larangan itu, diharapkan muncul tokoh-tokoh yang memiliki kapasitas memimpin daerah. Larangan kerabat kepala daerah maju pilkada juga dapat menekan praktik politik uang serta penyelewengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk kampanye atau pemenangan pilkada.

Kendati demikian, Kementerian Dalam Negeri masih mencari formula yang paling pas untuk membatasi pencalonan kerabat kepala daerah petahana dalam pilkada. Apalagi, diharapkan aturan tetap memerhatikan hak setiap warga untuk dipilih.

”Prinsipnya, dinasti tidak haram, tetapi (calon) harus memang mempunyai pengalaman, track record, dan kemampuan, bukan ujuk-ujuk dipasang sebagai calon,” lanjut Djohermansyah. (INA/NTA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com