Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup Inar Ichsana Ishak ketika dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (18/1), mengakui ada dua SK Menteri LH tentang penetapan peraih Adipura. Ia menegaskan, perubahan itu bukan karena penyuapan, tetapi untuk apresiasi terhadap upaya Kota Bekasi mengolah sampah menjadi energi.
”Memang SK sebelumnya hanya menetapkan 137 kota peraih Adipura. Nilai bagi Kota Bekasi ditambah karena mengolah sampah menjadi energi. Tiga kota lain yang memiliki total nilai lebih tinggi dari Bekasi juga ditetapkan sebagai penerima Adipura 2010. Namun karena Makassar tidak siap, jumlah akhir penerima Adipura hanya 140 kota,” kata Inar.
Anggota Komisi VII DPR, Dhohir Farisi, menyatakan, alasan KLH menambah nilai akhir tiga kota peserta penilaian Adipura 2010 tidak masuk akal. Ia menyebut penambahan nilai untuk mengapresiasi pengolahan sampah menjadi energi sebagai alasan yang dibuat-buat.
”Itu bukan mekanisme penilaian Adipura. Bisa saja menteri mengubah nilai karena di bawah tekanan atau bujukan, tetapi itu tetap tanggung jawab menteri. Kami menunggu hasil penyidikan agar jelas siapa penerima uang suap itu,” kata Dhohir.
Direktur Keadilan Perkotaan Institut Hijau Indonesia Selamet Daroyni menyebut penambahan nilai itu penyalahgunaan wewenang. ”Tim penilai yang dibentuk menteri sudah memberi nilai akhir tiap kota. Jika menteri yang tidak tahu kondisi lapangan dinyatakan berwenang mengubah nilai, itu menjelaskan kenapa Adipura tidak mencerminkan realitas kualitas lingkungan kota peraih Adipura,” kata Selamet.
Selamet pun mempertanyakan alasan apresiasi pengolahan sampah menjadi energi di Bekasi. “Sesuai Lampiran II Peraturan Menteri LH Nomor 1 Tahun 2009 tentang Program Adipura, nilai akhir Bekasi sebelum diubah menteri pun sudah memperhitungkan upaya itu. Jika nilai ditambah lagi karena upaya itu, berarti komponen nilai ’sampah menjadi energi’ dihitung dua kali,” katanya.