”Ketika politik gagal karena kepalsuan, maka yang harus tampil adalah agama,” ujar Hasyim, yang juga Presiden World Conference on Religion for Peace, dalam pesan singkatnya kepada Kompas, Jumat (14/1).
Hasyim mengatakan yakin pendapat beberapa tokoh agama itu keluar dari hati nurani mereka. Hasyim mengatakan mengenal orang-orang dan kepribadian tokoh-tokoh tersebut selama sembilan tahun.
”Mereka bukan orang-orang yang cari muka atau goyah mental dengan sharing jabatan, fasilitas, dan uang atau orang yang khawatir kena blackmail. Bahwa kemudian pemerintah menolak dan merasa sudah sangat jujur serta sangat adil untuk keadilan dan kemakmuran rakyat adalah haknya pula,” kata Hasyim.
”Biarlah akhirnya rakyat Indonesia yang menilai. Pihak mana yang bisa sesungguhnya bicara ’apa adanya’ dan yang ’ada apanya’. Dan lagi, mana ada orang mau dibilang bohong?” lanjut Hasyim.
Menurut Hasyim, kebohongan yang sudah merata—dalam gejala sosial—tentu banyak didukung dan bahkan dianggap sebagai kebenaran baru. Rakyat pun tampaknya sudah mulai jenuh dengan kepalsuan yang berbungkus etika, kezaliman yang berbungkus hukum dan keadilan, dan kepalsuan dengan bungkus kesejatian serta konflik dan bencana alam.
Sementara di kantor Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia di Jakarta, kemarin, diselenggarakan acara bertajuk ”Dengar Pendapat Publik yang Digelar Badan Pekerja Gerakan Tokoh Lintas Agama Melawan Kebohongan”. Acara ini dihadiri staf khusus Presiden, Daniel Sparringa.
Dalam acara ini, pengamat ekonomi Hendri Saparini mengkritik data pemerintah yang menyebutkan pengangguran menurun. Data ini, menurut Hendri, diperoleh dari survei yang menanyakan kepada masyarakat apakah mereka bekerja 1 jam selama seminggu terakhir.
”Rakyat kecil yang memiliki pisang di kebun tentu akan berusaha menggorengnya dan menjualnya. Jadi, mereka akan bekerja selama satu jam selama seminggu terakhir. Namun, tidak ditanyakan apakah penghasilan mereka cukup atau tidak,” ujar Hendri.