Jakarta, Kompas -
Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mut’i dalam diskusi Radikalisme Agama di Jabodetabek dan Jawa Barat di Jakarta yang diadakan Setara Institute, Senin (10/1), mengatakan, ”Masyarakat miskin dan tidak memiliki eksistensi hanya memiliki ruang tampil dalam agama. Mereka tampil sebagai pahlawan agama dan bisa bertindak semaunya tanpa tindakan hukum dari negara,” kata Abdul Mut’i.
Lemahnya hukum dicontohkan Abdul Mut’i, kalau seseorang korupsi sendirian akan ditangkap. Tetapi, kalau korupsi beramai-ramai niscaya selamat. Demikian pula kalau berbuat rusuh sendirian bakal ditangkap. Sebaliknya, kalau ramai-ramai berbuat rusuh malah aparat lari.
Radikalisme di Indonesia, lanjut Abdul Mut’i, tidak terlepas dari genealogi kelompok ekstrem pada masa lalu seperti kelompok yang tidak terakomodasi Orde Baru. Mereka berada di luar kelompok Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Kelompok ekstrem itu tumbuh makin kuat karena kegagalan pembangunan.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irjen (purn) Ansyaad Mbai dalam acara sama menegaskan, kelompok radikal memiliki cita-cita mengganti Pancasila dan mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
”Untuk itu, sedang dibuat revisi undang-undang terorisme agar dapat diambil tindakan pencegahan. Kita tidak akan memakai Internal Security Act seperti Malaysia dan Singapura. Kita sedang menyiapkan aturan untuk menjerat pelatihan militer dan teroris,” kata Ansyaad.
Ansyaad menegaskan, Indonesia 60 tahun lebih diganggu kelompok radikal sejak zaman DI/TII. Pendekatan yang dilakukan haruslah tindakan tegas dan upaya deradikalisasi dengan merangkul orang-orang yang berpaham ekstrem secara intensif dan tidak dilepas begitu saja.
”Saya baru pulang dari Arab Saudi. Ribuan tahanan Al Qaeda dari Guantanamo yang dipindahkan ke Saudi lalu dilepas kembali ternyata menjadi masalah di Yaman. Mereka kembali aktif di kelompok teror. Osama bin Laden dan jaringannya di Saudi sudah dinyatakan bukan orang beragama. Pemerintah Saudi menyatakan, mereka tidak berhak membawa-bawa nama Islam. Tindakan mereka menghina Islam,” kata Ansyaad.
Aktivis NU, Imdadun Rahmat, mengingatkan, bangkitnya kelompok radikal tidak terlepas dari jaringan ekstremis serupa di masa lalu. Kelompok radikal saat ini juga memanfaatkan frustrasi sosial di kalangan bawah.