Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gayus dan Efektivitas Pemberantasan Korupsi

Kompas.com - 10/01/2011, 02:53 WIB

BUDIARTO DANUJAYA

 Andai Gayus HP Tambunan sejenis maling guno—sesosok Robin Hood yang sengaja melanggar hukum untuk membuktikan kebobrokan tatanan penegakan hukum—rangkaian akrobatnya mungkin sudah patut diacungi dua jempol. Gerak pikatannya seakan memukat keluar kebusukan jejalin korupsi, kolusi, dan nepotisme para aparat di hampir segenap jajaran penegakan tertib dan hukum di negeri ini, mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, perpajakan, hingga sekarang juga imigrasi.

Kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menutup tahun 2010 dengan kesimpulan bahwa penegakan hukum belum berjalan baik, korupsi masih merebak, dan birokrasi belum efektif; Gayus seperti memberikan sense of reality betapa ketiga masalah mendasar tersebut juga berbaku-kelindan satu sama lain sehingga saling mengunci. Penegakan hukum dan birokrasi pemerintahan takkan mungkin berjalan efektif selama korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih dibiarkan merajalela; serta vice versa KKN masih merebak dan akan tetap terus merebak apabila penegakan hukum dan birokrasi pemerintahan tak diniatkan untuk terselenggara lebih efektif.

Kebebasan pemberitaan pada era reformasi sejak lama telah membuka mata publik atas ringkihnya jajaran penegakan hukum dan penyelenggaraan negara kita terhadap pikatan KKN. Betapapun, belum pernah kiranya mata publik demikian dibelalakkan oleh kenyataan pelik, luas, dan mendalamnya perkelindanan mafioso lintas jajaran penegak hukum dan penyelenggara negara semasif perkara Gayus ini.

Sungguh sayang, betapapun luar biasa akrobatnya, Gayus cuma maling biasa.
 
Marjin kontrol publik

Tentu saja, menghidup-hidupkan optimisme publik atas penegakan hukum, apalagi di tengah merebaknya krisis kepercayaan masyarakat akibat serial pelecehan hukum komplotan pengemplang pajak ini, merupakan tugas pemerintah. Kehidupan bernegara hanya bisa berlangsung saksama apabila tertib dan hukum ditegakkan semestinya; dan upaya ini mustahil terlaksana tanpa kepercayaan masyarakat akan manfaatnya dalam menyelenggarakan keadilan bagi mereka semua.

Dalam konteks inilah kiranya Menko Polhukam Djoko Suyanto mencoba mengobati keraguan publik akan pengungkapan tuntas kasus yang bagi masyarakat kebanyakan semakin mengaromakan kongkalikong kalangan bisnis, politik, dan mafia hukum tingkat tinggi ini. Bagi Menko Polhukam, optimisme justru terpampang karena lewat perkembangan perkara ini tampak jelas semakin hidupnya kontrol publik (Kompas, 7/1). Sebagaimana luas diberitakan, episode pelesiran akrobat Gayus terkuak bukan lewat pengusutan penegak hukum, melainkan lewat ”ketidaksengajaan” dua warga negara biasa.

Di tengah kemerosotan partisipasi publik dalam politik, seperti terlihat lewat rerata keikutsertaan pilkada yang cuma berkisar 60 persen, tentu saja sumbangan kepedulian lewat jepretan foto wartawan Kompas (Agus Susanto) dan surat pembaca Kompas (Devina) tersebut jelas menggembirakan. Mungkin ini bisa kita sebut sebagai contoh konkret tafsir kontemporer Bernard Flynn (1995) atas diskursus klasik La Boethia mengenai penghimpunan kuasa oleh penguasa sebagai yang tunggal lewat masyarakat sebagai yang banyak. Lewat partisipasi orang banyak, sang kuasa bak mendadak mengalami ”penggandaan tubuh”: mempunyai lebih banyak mata untuk mengawasi, kepala untuk memikirkan, dan tangan-kaki untuk menyelenggarakan kehidupan bernegara.

Betapapun, pertanyaannya lalu adalah: tidakkah ironis sebuah negeri dengan jajaran penegak hukum yang mampu cepat membongkar jejaring terorisme berkelas internasional tiba-tiba bak lumpuh dan harus menggantungkan kewajiban kerjanya pada ketidaksengajaan dua warga biasa?

Dalam teori peran negara yang paling minimal, seperti diskursus ”negara sebagai penjaga malam” sekalipun, penegakan hukum sebagai bagian pengondisian penyelenggaraan kehidupan bernegara yang waras berada pada urutan paling utama sebagai wilayah ketika masyarakat boleh berleha-leha tidur karena negara berkewajiban terjaga untuk menyelenggarakan kehidupan bersama. Dalam konteks ini, betapapun sangat penting dan perlu, sungguh ironis jika kepedulian warga diandalkan sebagai sandaran pokok negara dalam menyelenggarakan kewajibannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com