Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demokrasi Minus Etika Diskursus

Kompas.com - 20/12/2010, 02:54 WIB

Ada dua konsekuensi, sebagaimana dirumuskan Tim O’ Sullivan dan kawan-kawan (Key Concepts in Communication and Cultural Studies: Second Edition, 1994), yang menyertai multikulturalisme. Pertama, asumsi-asumsi dominan tentang kesatuan budaya harus dipikirkan ulang. Hal ini dikarenakan integrasi yang terjadi dalam masyarakat majemuk adalah hegemoni atau pencaplokan kekuatan dominan terhadap minoritas. Kedua, dalam masyarakat multikultural pasti berlangsung jalinan relasional antara kelompok budaya yang punya kekuatan dan kelompok kultural yang tak mempunyai kekuasaan.

Tanpa etika diskursus, aspirasi kaum minoritas kian terbatas dan bahkan sengaja dilenyapkan. Dengan berdalih pada keamanan dan ketertiban, mayoritas membungkam suara minoritas. Tempat-tempat ibadah kelompok beragama minoritas ditutup karena dinilai menyalahi fungsi atau dipakai sebagai penyebaran ajaran sesat. Suara-suara aspiratif yang muncul dari kekuatan lokal dilecehkan karena dianggap tak mencerminkan keinginan rakyat secara nasional. Etika diskursus jadi sebuah keharusan untuk diterapkan jika demokrasi tidak ingin hancur berantakan. Sebab, demokrasi tidak serupa dengan keadaan—merujuk pemikiran Thomas Hobbes (1588-1679)—manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Demokrasi akhirnya hanya berubah sebagai rimba belantara yang memenangkan kelompok yang lebih berdaya.

Hidup baik

Benar pernyataan Antje Gimmler (The Discourse Ethics of Jurgen Habermas, 2006) yang menegaskan etika diskursus merupakan etika normatif bagi masyarakat pluralistis yang tidak punya lagi otoritas moral tunggal untuk mengatasi persoalan. Etika diskursus mampu menciptakan ”ruang-ruang bebas” yang dibutuhkan dalam pluralisme yang terdiri dari ”kehidupan-kehidupan baik” yang berbeda-beda. Hidup baik bagi sebuah kelompok belum tentu baik pula bagi kelompok lainnya. Pendakuan (klaim) kebaikan yang dikemukakan suatu kelompok harus dibicarakan dengan pihak lainnya. Tanpa itu, realitas yang muncul adalah kebaikan sepihak yang menindas kebaikan yang dikemukakan pihak lainnya.

Bagaimana mendiskusikan dan meraih konsensus tentang kebaikan dalam perspektif etika diskursus? Habermas menyajikan formulasi berikut ini: (1) setiap pihak yang punya kompetensi berbicara dan bertindak diperbolehkan mengambil bagian dalam percakapan; (2a) setiap orang diperbolehkan menanyakan pernyataan apa pun; (2b) setiap orang diperbolehkan memperkenalkan pernyataan apa pun dalam percakapan; (2c) setiap orang diperbolehkan mengekspresikan sikap-sikap, keinginan-keinginan, dan kebutuhan-kebutuhannya; dan (3) tak ada satu pembicara pun yang boleh dicegah, melalui tekanan internal atau eksternal, untuk mengemukakan hak-hak sebagaimana tercantum dalam poin 1 dan 2.

Kemungkinan saja formulasi etika diskursus yang dikemukakan Habermas dipandang terlalu idealistis. Tapi, semua itu dapat diwujudkan jika semua pihak bisa berlapang dada menyepakati prosedur-prosedur yang telah ditetapkan bersama. Demokrasi yang telah ditanami etika diskursus memastikan semua pihak bisa terlibat dalam pembicaraan rasional. Sebaliknya, demokrasi minus etika diskursus hanya melahirkan suara besar gerombolan yang terus memangsa kaum minoritas yang kian tidak berdaya.

Suara minoritas ditelan dalam kerkahan mayoritas yang selalu berlindung dalam topeng ketertiban dan kebenaran sepihak. Demokrasi minus etika diskursus hanya meniscayakan pihak yang paling kuat sajalah yang boleh bertahan hidup. Sementara itu, pihak lemah makin dibenamkan dalam ketidakberdayaannya.

Triyono Lukmantoro Dosen FISIP Universitas Diponegoro

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com