Yogyakarta, Kompas
”Yang terjadi di DIY bukanlah sistem monarki, tetapi lebih pada tradisi budaya yang secara eksis berkembang dan mengakar kuat. Harus diakui, eksistensi keraton sangat kuat. Persoalannya, bagaimana menempatkan keraton dalam sistem pemerintahan modern. Itu yang harus dijawab dalam Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (Yogyakarta),” kata AA GN Ari Dwipayana, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Minggu (28/11).
Menurut dia, Yudhoyono terlalu terpaku pada makna keistimewaan sebatas perekrutan kepala daerah. Akibatnya, dengan mudah menyebut sistem pemerintahan DIY sebagai sistem monarki. Masih banyak isu keistimewaan lain yang harus mendapat perhatian, seperti isu pertanahan dan tata ruang wilayah.
Ari juga mengkritisi pernyataan Yudhoyono yang menyebutkan sistem monarki bertabrakan dengan demokrasi. Menurut dia, pengalaman sejumlah negara, sistem monarki bisa berdampingan dengan politik modern. Misalnya, di Inggris, Belanda, dan Malaysia. ”Tidak seharusnya monarki ditabrakkan dengan demokrasi,” katanya.
Secara terpisah, dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Hestu Cipto Handoyo, mengatakan, dengan menyebut sistem monarki, Yudhoyono tidak memahami konsep keistimewaan DIY. ”SBY (Yudhoyono) tampaknya salah menafsirkan keistimewaan DIY,” ujarnya.
Sejarah, menurut Handoyo, harus dipakai sebagai referensi utama dalam menyusun undang- undang yang mengatur tentang tata negara. Keistimewaan DIY, katanya, muncul karena adanya hak privilege yang diberikan Pemerintah Indonesia yang berkuasa saat itu kepada Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VII.
Hak itu diberikan karena Keraton Ngayogyakarto dan Pakualaman merupakan daerah merdeka yang memilih untuk menjadi bagian dari Indonesia. ”Kontrak politik antara DIY dan Indonesia itu mestinya tidak diingkari. Hak privilege semacam itu bahkan juga diakui oleh Pemerintah Belanda dan Jepang yang pernah menduduki wilayah Indonesia,” kata Handoyo menambahkan.