Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pernyataan Presiden soal Pemerintah DIY Berlebihan

Kompas.com - 29/11/2010, 03:50 WIB

Yogyakarta, Kompas - Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait sistem pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta dinilai berlebihan. Sebutan sistem monarki yang dikemukakannya dianggap terlalu menyederhanakan persoalan dalam memandang sistem kerajaan dan politik modern.

”Yang terjadi di DIY bukanlah sistem monarki, tetapi lebih pada tradisi budaya yang secara eksis berkembang dan mengakar kuat. Harus diakui, eksistensi keraton sangat kuat. Persoalannya, bagaimana menempatkan keraton dalam sistem pemerintahan modern. Itu yang harus dijawab dalam Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (Yogyakarta),” kata AA GN Ari Dwipayana, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Minggu (28/11).

Menurut dia, Yudhoyono terlalu terpaku pada makna keistimewaan sebatas perekrutan kepala daerah. Akibatnya, dengan mudah menyebut sistem pemerintahan DIY sebagai sistem monarki. Masih banyak isu keistimewaan lain yang harus mendapat perhatian, seperti isu pertanahan dan tata ruang wilayah.

Ari juga mengkritisi pernyataan Yudhoyono yang menyebutkan sistem monarki bertabrakan dengan demokrasi. Menurut dia, pengalaman sejumlah negara, sistem monarki bisa berdampingan dengan politik modern. Misalnya, di Inggris, Belanda, dan Malaysia. ”Tidak seharusnya monarki ditabrakkan dengan demokrasi,” katanya.

Tidak paham

Secara terpisah, dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Hestu Cipto Handoyo, mengatakan, dengan menyebut sistem monarki, Yudhoyono tidak memahami konsep keistimewaan DIY. ”SBY (Yudhoyono) tampaknya salah menafsirkan keistimewaan DIY,” ujarnya.

Sejarah, menurut Handoyo, harus dipakai sebagai referensi utama dalam menyusun undang- undang yang mengatur tentang tata negara. Keistimewaan DIY, katanya, muncul karena adanya hak privilege yang diberikan Pemerintah Indonesia yang berkuasa saat itu kepada Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VII.

Hak itu diberikan karena Keraton Ngayogyakarto dan Pakualaman merupakan daerah merdeka yang memilih untuk menjadi bagian dari Indonesia. ”Kontrak politik antara DIY dan Indonesia itu mestinya tidak diingkari. Hak privilege semacam itu bahkan juga diakui oleh Pemerintah Belanda dan Jepang yang pernah menduduki wilayah Indonesia,” kata Handoyo menambahkan. (ENY/ARA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com