Sikap apriori publik cenderung mengarah pada sikap apatis dan pesimistis terhadap penegakan hukum di Indonesia. Hal itu tecermin dari pola penyikapan sebagian besar publik dalam jajak pendapat yang diselenggarakan pascapengakuan Gayus HP Tambunan pekan lalu tentang keberadaannya di Bali.
Pengakuan Gayus seolah menjadi penegas fakta yang mengonfirmasi betapa hukum bisa dibeli atau dipermainkan oleh kekuatan uang. Keberadaan Gayus di Bali pula yang menjadi pelengkap dari rangkaian bukti lemahnya integritas aparatur penegak hukum. Lebih dari itu, apatisme publik berujung pada keyakinan bahwa hukum bisa dibeli. Publik pesimistis sistem penegakan hukum dapat berjalan di tengah situasi di mana kepentingan politik dan kekuatan kapital lebih berpengaruh dan berkuasa dalam proses hukum di negara ini.
Sikap pesimistis semacam ini memunculkan kegamangan publik dalam melihat masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia. Ini tecermin dari hasil jajak pendapat
Publik menilai praktik korupsi yang berlangsung sejauh ini sudah demikian akut. Penilaian semacam ini menggiring sikap publik yang seolah frustrasi terhadap penyelenggaraan hukum di negeri ini. Praktik korupsi yang tampak berpilin di hampir semua institusi pemerintahan menunjukkan kecenderungan rendahnya integritas pejabat dan pegawai negara.
Apatisme publik tertuju nyaris pada semua institusi penegak hukum. Mereka meragukan keseriusan lembaga-lembaga penegak hukum. Sikap pesimistis akan keseriusan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia ditunjukkan setidaknya oleh 65,8 persen responden jajak pendapat
Institusi kejaksaan, pengadilan, dan kepolisian tak luput dari pandangan negatif publik. Mayoritas responden berpendapat bahwa institusi-institusi negara tersebut gagal menunjukkan keseriusan dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum. Bahkan, lebih dari itu, institusi penegak hukum justru jadi ranah basah yang tak luput dari perilaku korupsi. Publik menilai aparatur yang bekerja di institusi-institusi tersebut tidak memiliki integritas yang tinggi dalam menjalankan tugasnya. Tak kurang dari 90 persen publik menyampaikan kekecewaan mereka terhadap keseriusan lembaga hukum di negeri ini dalam memberantas korupsi.
Sikap publik yang cenderung frustrasi menyaksikan perilaku koruptif dari aparatur negara tak lepas dari rangkaian skandal korupsi yang berjalin pada setiap level penyelenggara negara. Terbongkarnya praktik makelar kasus yang terungkap dalam rekaman percakapan antara Anggodo Widjojo dan sejumlah pejabat kepolisian dan kejaksaan berlanjut secara renteng pada terkuaknya kasus-kasus lain. Testimoni Susno Duadji terkait adanya makelar kasus di tubuh kepolisian tak pernah direspons dengan penyelidikan lebih lanjut. Sebaliknya, hingga kini tidak ada penyelesaian dalam kasus-kasus itu yang mampu memuaskan rasa keadilan publik.
Menyikapi karut-marut dan lemahnya komitmen pemberantasan korupsi, publik cenderung mendorong diberlakukannya sanksi yang lebih berat terhadap koruptor. Bagi sebagian terbesar publik, pemberian sanksi yang lebih berat diharapkan menjadi salah satu solusi untuk memberantas korupsi. Kegeraman publik kepada koruptor ditunjukkan dengan mayoritas responden yang setuju pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Sebanyak 69,3 persen responden dalam jajak pendapat ini menyampaikan sikap tersebut. Sementara itu, setiap delapan dari sepuluh responden juga sepakat dengan gagasan untuk memiskinkan koruptor.