Jakarta, Kompas -
Demikian pokok pikiran yang disampaikan Ketua Forum Rektor Indonesia Chairil Effendy dan Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Teten Masduki saat dihubungi secara terpisah, Kamis (18/11).
”Gayus bisa melakukan itu karena suap menjadi pemandangan sehari-hari, mentradisi, dan mengakar kuat di birokrat dan aparat penegak hukum. Gayus paham betul hal itu dan memanfaatkannya tanpa ada ketakutan karena semua bisa dia bayar,” kata Teten.
Menurut Chairil, perilaku suap yang diduga dilakukan Gayus hingga tiga episode itu sulit diterima akal sehat. Hal itu terjadi karena situasi di birokrasi dan aparat penegak hukum memungkinkan Gayus melakukan hal tersebut.
”Aparat penegak hukum begitu lemah terhadap kultur sogok-menyogok. Apa yang dilakukan Gayus juga dilakukan yang lain dan dia hanya mencontoh saja,” katanya.
Persoalan karakter penyelenggara negara yang terbentuk karena suap yang mentradisi dan membudaya itu, menurut Chairil, sangat merusak sendi-sendi kehidupan bangsa. Tindakan suap dan korupsi merupakan extra ordinary crime yang sudah sampai pada taraf krisis sehingga perlu perbaikan secara menyeluruh.
Kasus suap di rutan Markas Komando Brimob, menurut Teten, semakin meruntuhkan kepercayaan publik terhadap kredibilitas dan profesionalisme polisi. Untuk mengembalikan kepercayaan publik itu, Kepala Polri harus tegas mencopot, memecat, dan menindak polisi yang nakal. Tidak hanya polisi yang terkait dengan keluarnya Gayus dari rumah tahanan, tetapi juga polisi yang terkait pada kasus Gayus di episode pertama dan kedua.