Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tanpa Ikon Kota Pahlawan

Kompas.com - 09/11/2010, 04:48 WIB

Surabaya, Kompas - Kendati disebut sebagai Kota Pahlawan, Surabaya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda sebagaimana gelar itu. Tidak ada ikon, bangunan kuno banyak berubah menjadi gedung baru, dan semangat kepahlawanan pada generasi muda juga tidak muncul.

Hal ini disampaikan pengajar Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra, Y Lukito Kartono, Senin (8/11).

Saat ini, bila generasi muda ditanya mengenai hal yang pertama diingat tentang Surabaya, mungkin jawabannya adalah mal atau pusat perbelanjaan. Ini, kata Lukito, menunjukkan ikon masa lalu sudah tidak berlaku untuk anak-anak muda.

Meskipun terasa ironis, kenyataannya sebutan Kota Pahlawan sudah terdegradasi maknanya. Kalaupun ada kegiatan terkait kepahlawanan, event itu hanya muncul menjelang Hari Pahlawan. ”Program-program itu terlihat rutin dan genit-genitan saja,” ujar Lukito.

Menurut Lukito, setiap periode menandai zamannya dengan cara sendiri-sendiri. Zaman Presiden Soekarno banyak didirikan bangunan mercusuar seperti Tugu Pahlawan, sedangkan zaman Soeharto dibuat patung dan tugu yang kini juga mulai tersisih. Semua ini seperti ”alien” untuk generasi muda.

Selain itu, kata Lukito, pola pembangunan Surabaya semestinya tidak menggusur yang lama. Bangunan-bangunan kuno justru harus dipugar sehingga menjadi aset kota dan bisa dimanfaatkan untuk wisata sejarah. Adapun membangun berbagai gedung baru bisa dilakukan di kawasan yang masih kosong.

Ketika bangunan kuno dan bersejarah dirusak, sulit mengenalkan dan menumbuhkan semangat kepahlawanan seperti zaman dulu pada anak-anak muda.

Pengajar Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Sarkawi mengatakan, masalah sebutan Kota Pahlawan untuk Surabaya dinilai sebagai problematik. Di satu sisi, kota ini beruntung sekali karena menjadi tempat pertempuran hebat yang dimulai 10 November. Namun, kota ini tidak menghargai dan memerhatikan aspek itu.

Sarkawi mencontohkan nasib veteran yang setiap 10 November ditulis koran. Semestinya pemerintah tidak hanya memberi uang, tetapi memberi mereka kehidupan dan pekerjaan yang layak. Segala kegiatan peringatan 10 November malah menjadi rutinitas ketimbang sungguh-sungguh bermakna.

”Pada 10 November, kota ini menjadi melting point bagi berbagai etnis dan budaya. Jadi, lintas kultur ini harus menjadi konsen Surabaya,” katanya. (INA)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com