JAKARTA, KOMPAS.com- Putusan Kejaksaan Agung mendeponeer kasus dugaan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang oleh dua pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah menyisakan sejengkal kisah terlupakan terkait kasus itu.
Kisah itu adalah kisah seorang Ary Muladi yang masih tetap menjadi tersangka KPK dan Mabes Polri. Dalam dugaan pidana menghalang-halangi penyidikan yang dilakukan KPK, perkara Ary masih ditangani KPK. Sedangkan dalam pidana penggelapan uang suap kepada pimpinan KPK yang disidik Mabes Polri, dia juga masih berstatus tersangka.
Ary Muladi pun meminta perlakuan yang hampir serupa dari Mabes Polri dan KPK terkait dua kasus yang membelitnya tersebut. "Kita minta seharusnya KPK menyetop perkara terkait pak Ary yang sekarang sedang ditangani mereka. Seharusnya Mabes Polri juga menyetop perkara pak Ary yang ditangani mereka. Karena memang sejak awal kasus ini, ditarik secara substansi perkara," jelas merupakan suatu rekayasa," kata penasihat hukum Ary Muladi yakini Sugeng Teguh Santoso kepada Tribunnews, Sabtu (30/10/2010).
Menurut Sugeng, selaku pihak yang turut berandil dalam pengungkapan adanya rekayasa di balik kasus yang mendera dua pimpinan KPK tersebut, sudah selayaknya Ary mendapatkan apresiasi atas jasa-jasanya itu. Pasalnya, kebijakan deponeering tak akan pernah diambil Kejaksaan Agung jika saja rekayasa dalam penanganan kasus itu tidak pernah terungkap.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak akan pernah meminta Kejaksaan Agung dan Polri untuk menyelesaikan kasus itu di luar pengadilan jika saja Ary tak membantu KPK dalam mengungkap rekayasa itu.
"Sekarang pak Ary dalam posisi berpotensi dapat ditahan oleh KPK dan Polri. Ini tentu nggak patut. Karena ini menunjukkan kalau hukum itu hanya untuk orang yang lemah saja. Hukum tidak dikenakan kepada kekuatan politik yang lebih besar," tuturnya.
Namun, meskipun dirinya berharap dan meminta Polri dan KPK dapat menghentikan proses hukum kasus yang membelitnya, Ary, dikatakan Sugeng tetap siap menghadapi konsekuensi terburuk, permintaan dan harapannya itu ditolak ataupun tak diindahkan oleh kedua institusi hukum itu.
"Ya kalau nggak dihentikan, kita tetap hadapi. Saya punya senjata utama untuk menghadapinya," ungkapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.