Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Jugun Ianfu" Belum Selesai

Kompas.com - 29/10/2010, 04:15 WIB

Napas Sri Sukanti (79) tersengal. Bicaranya tak jelas. Beberapa kali ia terhuyung. Di antara sedu-sedannya, ia beberapa kali mengatakan, ”Sumpah, saya tidak bohong, saya diperlakukan seperti kuda.”

Kesaksian Sukanti—satu dari 1.156 penyintas asal Indonesia, sebagian sudah meninggal—yang tak lebih dari 15 menit itu membuat ruangan hotel berbintang berisi sekitar 100 orang itu sunyi. Sukanti, dipapah Eka Hindrati, peneliti independen isu jugun ianfu, terus ber bicara dengan air mata bercucuran.

Usia Sukanti tak lebih dari 15 tahun ketika dipaksa menjadi pemuas seks serdadu Jepang di Salatiga, Jawa Tengah. Ia mengalami siksaan seksual yang traumanya memekat setiap kali harus mengingat kekejian itu.

Dengan terbata ia mengatakan, ”Saya disuntik 16 kali... saya tidak pernah bisa punya anak.... Jangan ada lagi yang seperti saya ya.... jangan ada lagi yang seperti saya ... Jepang itu kejam...Ogawa itu....”

Tangisnya pecah. Ia terus berbicara, terkesan meracau, seperti melepaskan timbunan luka jiwa yang tak pernah bisa disembuhkan. Sukanti mengingatkan kepada perempuan sepuh, penyintas dari Korea, yang berteriak, menangis, dan pingsan ketika bersaksi di depan para jaksa Pengadilan Internasional Kejahatan Perang untuk Kasus Perbudakan Seksual oleh Militer Jepang selama Perang Dunia II (The Tokyo Tribunal), 8 Desember 2000.

Pemerkosaan

Pemerkosaan dan perbudakan seksual dalam perang mencerminkan wataknya sebagai teror khusus untuk menundukkan, karena organ reproduksi adalah simbol keberlanjutan suatu bangsa atau etnis. Oleh karena itu, perbudakan seksual pada masa perang dan konflik bersenjata harus diusut sebagai peristiwa politik.

Meski sudah berlangsung lebih dari 65 tahun lalu dan ada tribunal khusus, masalah perbudakan seksual serdadu Jepang selama PD II belum selesai. Apalagi, tahun-tahun terakhir ini isu kembalinya militer Jepang dengan dukungan Amerika Serikat semakin kuat bergulir.

”Indonesia berkepentingan mengingatkan sepak terjang militer Jepang ataupun serangkaian tindak kejahatan perang antara tahun 1942-1945,” ujar Hendrajit, Direktur Lembaga Global Future Institute yang menyelenggarakan seminar sehari mengenai 65 tahun kapitulasi Jepang dalam Perang Asia-Pasifik, di Jakarta, Senin (25/10).

Utomo Darmadi, adik dari Supriyadi—pahlawan nasional, pemimpin pasukan Pembela Tanah Air (Peta) melawan pasukan pendudukan Jepang di Blitar tahun 1945—mengingatkan tiga pelanggaran utama pada masa penjajahan Jepang, yakni romusha (buruh paksa), heiho (wajib militer paksa), dan jugun ianfu (budak seks).

”Selain ’comfort station’ resmi, juga ada tempat prostitusi paksa tak resmi. Korbannya anak usia 11 tahun sampai ibu rumah tangga,” ujar Hilde Janssen, wartawan Algemeen Dagblad, Belanda, yang mendokumentasikan kisah para penyintas.

Tarik menarik antara kelompok ultranasionalis konservatif dengan kelompok progresif terus terjadi di Jepang. Pada 2 Maret 2007 Perdana Menteri Shinzo Abe menolak tuduhan militer Jepang memaksa sekitar 200.000 perempuan di Asia-Pasifik jadi budak seks selama PD II. ”Tak ada bukti adanya paksaan terhadap mereka,” tegas dia.

Para ahli hukum kelompok kanan konservatif Partai Demokrat Liberal (LDP) juga merevisi permintaan maaf Sekretaris Kabinet Yohei Kono, Agustus 1993, kepada para penyintas. Pernyataan Abe langsung menyulut reaksi negara-negara Asia dan Barat. Editorial New York Times (6/3) menyatakan, ”Tidak ada prostitusi komersial saat itu. Yang terjadi adalah pemaksaan.”

Tekanan Barat tampaknya membuat Abe menarik pernyataannya pada 26 Maret 2007. Ia menyatakan keprihatinannya atas pelanggaran hak asasi manusia oleh militer Jepang terkait kasus perbudakan seksual dan mendukung pernyataan Kono.

Bersamaan dengan itu, mantan Menteri Pendidikan Nariaki Nakayama menyatakan, LDP berhasil memasukkan referensi ”perbudakan seksual dalam perang” dalam buku pelajaran sejarah sekolah menengah pertama. ”Kampanye kami berhasil dan orang-orang mulai bersuara,” ujarnya, menolak istilah comfort women.

Berlanjut

Pada tahun 2007 Mike Honda dari Dewan Perwakilan Rakyat AS mengusulkan House Resolution (HR) 121 dan disahkan 26 April 2007. HR 121 menyatakan, Jepang harus mengakui, meminta maaf, dan menerima tanggung jawab sejarah secara jernih dan terbuka, tak lagi menolak isu comfort women serta mendidik generasi sekarang dan yang akan datang tentang hal ini.

Menurut Honda, resolusi itu tidak dimaksudkan mempermalukan Jepang. Namun, Kedutaan Besar Jepang di AS menyatakan, resolusi itu bisa mengganggu persahabatan AS-Jepang. HR 121 didukung resolusi serupa di Belanda, Kanada, Parlemen Uni Eropa, dan Inggris.

Di luar itu, menurut Eka, aktivis Korea mengumpulkan 500.000 tanda tangan dan 1,2 juta tanda tangan oleh aktivis Jepang, untuk diserahkan ke Parlemen Jepang, November 2010. Pada Maret 2010 terbentuk Koalisi Parlemen Korea-Jepang yang membentuk komite untuk menyelesaikan masalah ianfu.

”Asian Women’s Fund (AWF) tidak menyelesaikan apa pun dalam kasus ini,” tegas Eka, menguatkan pernyataan Hilde Janssen. Sebagai catatan, Pemerintah Indonesia bungkam setelah menerima 380 juta yen dari AWF tahun 1997. (MH)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com