Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kejaksaan, Kok, Bingung?

Kompas.com - 27/10/2010, 04:33 WIB

Saldi Isra

Senin (25/10), sempat berembus ”kabar baik” bahwa Kejaksaan Agung akan mengeluarkan deponeering untuk menutup kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.

Kabar tersebut berasal dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Muhammad Amari. Amari mengatakan bahwa Kejaksaan telah mengambil sikap memilih opsi deponeering. Namun, kabar baik itu tiba-tiba buyar. Melalui pernyataan terbuka, Pelaksana Tugas Jaksa Agung Darmono membantah pernyataan Amari. Lebih jauh dari sekadar membantah, Darmono mengemukakan bahwa dia telah menegur Amari karena buru-buru menyampaikan opsi deponeering yang belum diputuskan Kejaksaan Agung.

Tidak berhenti sampai memberikan teguran, Darmono menambahkan bahwa pilihan deponeering harus menunggu Jaksa Agung definitif. Seperti mau menutup opsi deponeering, Darmono menambahkan, sekiranya pilihan tetap melimpahkan ke pengadilan, Kejaksaan akan menuntut bebas dua pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut. Karena amat masuk akal jika sikap Kejaksaan Agung tersebut dinilai membingungkan (Kompas, 26/10).

Mengulur waktu

Bantahan Darmono yang hanya terjadi dalam hitungan jam atas keterangan Amari menjadi bukti lebih lanjut bagaimana sesungguhnya pendirian Kejaksaan Agung dalam skandal Bibit-Chandra. Menilik perjalanan skandal yang penuh misteri ini, dari semula dapat dilacak bahwa Kejaksaan seperti tidak hendak menuntaskan skandal ini. Kesan mengulur-ulur penyelesaian secara cepat dan tuntas menjadi fakta yang sulit dimentahkan.

Setidaknya ada dua fakta yang membuktikan taktik buying-time yang dilakukan pihak Kejaksaan. Pertama, Kejaksaan keliru merumuskan argumentasi hukum ketika mengeluarkan Surat Keterangan Penghentian Penuntutan (SKPP) bagi Bibit-Chandra. Dengan kekeliruan itu, Anggodo Widjojo mempunyai ruang untuk mempersoalkan pilihan instrumen hukum SKPP ini. Sekiranya serius, sejak awal Kejaksaan harus dengan cermat memperhitungkan celah untuk adanya praperadilan.

Rasanya, dengan begitu besarnya perhatian publik dalam skandal Bibit-Chandra, sulit dimengerti Kejaksaan bisa keliru memilih alasan hukum. Apalagi, berdasarkan temuan Tim 8, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara eksplisit memerintahkan penyelesaian skandal Bibit- Chandra melalui jalur di luar pengadilan (out of court settlement). Sebagai institusi yang berada di bawah Presiden, hal itu seharusnya dimaknai Kejaksaan sebagai perintah penutupan skandal ini secara permanen.

Selepas dari kesempatan pertama untuk menutup secara permanen, Kejaksaan dapat kesempatan kedua, yaitu setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan praperadilan permohonan Anggodo. Ketika itu, diingatkan sejumlah kalangan bahwa pilihan mengajukan banding dapat dikatakan sebagai pilihan yang keliru. Selain sulit mengalahkan argumentasi Anggodo, pilihan banding akan menghabiskan banyak waktu sehingga upaya penyelesaian kasus Bibit-Chandra akan semakin tertunda.

Dengan tetap bertahan mengajukan upaya hukum, termasuk mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, kesan mengulur-ulur upaya penyelesaian secara cepat menjadi sulit untuk dibantah. Desain menunda penyelesaian secara cepat kelihatan menjadi mudah dibaca dari pernyataan Darmono dengan mempertahankan opsi melimpahkan ke pengadilan meski Kejaksaan akan menuntut bebas Bibit-Chandra. Selain memberi tekanan besar bagi Bibit-Chandra, pilihan ke pengadilan jelas memerlukan banyak waktu.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com