Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PNS Bukan Warga Kelas Satu

Kompas.com - 19/10/2010, 20:21 WIB

Oleh DEDE MARIANA

Respons Asep Salahudin terhadap tulisan saya, yang disampaikan di Kompas Jawa Barat, "Unpad, Seleksi CPNS, dan Kabuyutan", Kamis (22/7), tentu harus saya sambut dengan hatur nuhun. Sebab, jenis silaturahim pemikiran melalui media massa, utamanya, relatif kurang membudaya di kalangan akademisi sekalipun.

Bagi saya, ini merupakan proses silih asah di samping silih asuh dan silih asih. Silih asah dengan cara silih tembrakeun pamendak, pangalaman, jeung pamadegan secara kritis dan argumentatif. Pada Oktober 2010 akan dimulai kembali penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) untuk seluruh Indonesia, baik pada tingkat kementerian maupun pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.

Tulisan Asep bermuara pada dua hal pokok. Pertama, soal birokrasi yang menurut istilah Asep bobrok. Kedua, soal nilai moral dalam kabuyutan. Di antara kedua soal pokok itu dikupas perihal kontribusi Universitas Padjadjaran dalam seleksi CPNS. Bahkan ada dugaan atau katakanlah indikasi adanya kecurangan. Problemnya, di mana dan pada tahap apa kecurangan tersebut?

Yang disinyalir Asep tentang jual beli dalam rekrutmen perlu ditelusuri, di mana kejadiannya. Pada pelaksanaan seleksi atau rapat penentuan akhir? Atau, adakah kemungkinan lain? Jelas di sini perantara yang menjanjikan seseorang lulus dalam penerimaan CPNS, baik calo gadungan maupun calo berdasi, yang memiliki akses terhadap rekrutmen CPNS, akan "bermain" karena ada peluang.

Di satu sisi masyarakat begitu antusias ingin menjadi PNS, sementara kompetisinya begitu ketat. Di sisi lain ada oknum yang mengganggap kondisi tersebut sebagai peluang. Akibatnya, muncul transaksi di bawah tangan guna meluluskan seseorang menjadi PNS dengan konsekuensi membayar melalui perantara, yang menurut Asep, diperkirakan Rp 40 juta-Rp 70 juta per CPNS.

Kalaulah Unpad sebagai pelaksana tes masuk CPNS bersih dalam rekrutmen CPNS, bisa jadi itu merupakan awal perbaikan reformasi birokrasi. Namun, persoalannya, bagaimana menguji akuntabilitas dan transparansi penyelenggara seleksi CPNS tersebut? Adakah mekanismenya, melalui Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, misalnya, yang memungkinkan publik mengetahui proses rekrutmen?

Dapatkah publik meminta kepada pihak-pihak terkait, dalam hal ini Unpad dan pemerintah daerah, untuk membuka dokumen hasil seleksi manakala ada keingintahuan publik atas nama transparansi? Tentu di sinilah arti penting dan strategis Komisi Informasi Daerah provinsi dan kabupaten/kota yang akan mengatur mekanisme dan prosedur tersebut.

Berdasarkan data Badan Kepegawaian Daerah Jawa Barat, penerimaan CPNS se-Jabar (Pemerintah Provinsi Jabar dan pemerintah kabupaten/kota) tahun 2010 sebanyak 4.715 orang, tahun 2009 sebanyak 10.061 orang, tahun 2008 masih dilengkapi datanya, dan tahun 2007 sebanyak 31.215 orang. Formasi CPNS di Pemprov Jabar sendiri untuk tahun seleksi 2010 adalah 275 orang.

Sisi lain PNS

Kita sepakat, butuh birokrasi yang kredibel dan akuntabel berbasis moral. Namun, sepertinya tidak keliru juga jika diskusi ini berlanjut pada soal budaya kita yang disadari atau tidak menganggap PNS sebagai warga kelas satu dibandingkan dengan jenis pekerjaan lain.

Suap Rp 40 juta-Rp 70 juta sebagaimana disampaikan Asep adalah indikasi bagaimana masyarakat kita begitu bergairah ingin menjadi warga kelas satu, apa pun caranya. Ini menyedihkan karena berarti tingkat kemandirian masyarakat kita untuk menggantungkan diri kepada Tuhan dan kemampuan yang dimiliki demikian rendah. Padahal, setelah menjadi PNS, banyak kasus yang mengindikasikan bahwa kinerja mereka tidak pernah optimal. Banyak yang menjadi PNS karena tergiur gaji tiap bulan. Seakan mereka beranggapan bahwa kebutuhan hidup sehari-hari sudah terjamin dengan gaji.

Karena motivasinya bukan untuk prestasi dan aktualisasi diri, untuk apa prestasi kerja. Toh tak berprestasi pun akan dapat gaji. Saya kira ini juga menyangkut persoalan moral sekaligus mentalitas manusia Indonesia pada umumnya.

Bahkan dalam banyak benak manusia Indonesia, konsep bekerja sering kali direduksi menjadi jelas gajinya, jelas seragamnya, jelas jam kerjanya, dan jelas alamat kantornya. Artinya, orang-orang mandiri yang bekerja, tetapi tidak berseragam, tidak tetap gajinya, dan tidak jelas kantornya dianggap tidak bekerja. Pandangan ini sungguh berbahaya di era modern di negara yang sudah lebih dari setengah abad merdeka. Mengapa hal ini terjadi?

Pertama, mentalitas kaum terjajah rupanya masih melekat. Apa pun dilakukan, termasuk kerja asal-asalan, yang penting dapat gaji. Kedua, secara perlahan tetapi pasti anggapan bahwa PNS adalah warga kelas satu akan melahirkan kecemburuan sosial, yang pada akhirnya akan melahirkan sinisme publik. Tidak tertutup kemungkinan satu saat nanti akan lahir sebuah gerakan anti terhadap warga kelas satu itu.

Ini sangat beralasan, terutama ketika gaji PNS semakin tinggi, tetapi tidak disertai kinerja yang berpengaruh terhadap membaiknya mesin birokrasi. Maka, satu saat nanti birokrasi dan PNS akan dianggap sebagai biang kerok lahirnya kesenjangan ekonomi dan kemiskinan. Ini merupakan problem besar yang tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Moral dan mental

Dalam hal ini Unpad yang dipercaya sebagai salah satu pihak yang menyeleksi CPNS tentu memiliki komitmen agar PNS yang dihasilkan benar-benar memiliki standar memadai, terutama standar moral dan mental. Ya, seperti sekarang inilah proses seleksi CPNS. Setelah menjadi PNS, tabiat warisan "priayiisme"-nya masih terlihat, merasa diri menjadi anak pemerintah yang diberi seragam dinas dan pola pikirnya seakan seragam.

Sudah lama seleksi CPNS hanya berdasarkan syarat administratif. Untuk masa mendatang, sebagai usulan, saya kira ada baiknya mereka yang mau menjadi PNS harus benar-benar terpilih berdasarkan rekam jejak kecakapan dan kompetensi serta memiliki integritas yang teruji pada bidang pekerjaan tertentu.

Memang dibutuhkan waktu dan kesungguhan untuk mengubah orientasi dedikasi dan loyalitas. Dedikasi dan loyalitas yang selama ini ada di dunia PNS adalah terhadap atasan dan lembaga di tempat yang bersangkutan bekerja. Seharusnya dedikasi dan loyalitas itu terhadap pekerjaan sehingga PNS merasa bertanggung jawab terhadap pekerjaannya, bukan kepada atasan atau lembaga.

Usulan ini barangkali absurd, tetapi kalau mau membenahi birokrasi yang perilakunya sudah gila, harus menggunakan inovasi yang tidak lazim juga.

DEDE MARIANA Guru Besar Ilmu Pemerintahan Unpad

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com