Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kapolri Diharapkan Bantu Atasi Kemacetan

Kompas.com - 16/10/2010, 04:57 WIB

Oleh James Luhulima

Komisaris Jenderal Timur Pradopo secara aklamasi diterima oleh sembilan fraksi di Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kamis (14/10) sekitar pukul 23.00. Sementara Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Fraksi Amanat Nasional memberikan catatan pada penerimaannya terhadap Timur Pradopo.

Penerimaan itu diberikan Komisi III DPR setelah melakukan uji kelayakan dan kepatuhan (fit and proper test) terhadap Timur Pradopo yang dimulai pukul 09.00 dan berlangsung sekitar 14 jam.

Itu adalah hasil maksimal yang bisa diberikan oleh Komisi III DPR. Ini mengingat Timur Pradopo adalah calon tunggal Kepala Polri yang diajukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada DPR untuk menggantikan Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri. Apalagi sebelumnya pimpinan DPR di luar kewenangannya telah meminta Komisaris Jenderal Timur Pradopo menghadap. Dan, itu dinilai sebagai sikap DPR akan menerima mulus Timur Pradopo.

Sebelumnya, DPR mengharapkan Presiden Yudhoyono mengajukan lebih dari satu nama calon Kapolri. Tujuannya agar DPR dapat memilih satu di antara dua calon yang diajukan Presiden sehingga kesan peran DPR sebagai tukang stempel saja dapat dihindari. Namun, harapan DPR itu tidak terjadi karena pada akhirnya Presiden Yudhoyono hanya mengajukan satu nama. Bukan itu saja, Presiden Yudhoyono bahkan menolak dua nama yang diajukan Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso kepadanya, yakni Komisaris Jenderal Nanan Soekarna dan Komisaris Jenderal Imam Soedjarwo.

Alih-alih memilih satu di antara dua nama yang diajukan oleh Kapolri, Presiden Yudhoyono malah memilih untuk menolak kedua-duanya, dan memutuskan memilih Timur Pradopo, yang baru pagi harinya pangkatnya dinaikkan satu tingkat dari inspektur jenderal menjadi komisaris jenderal.

Dengan kata lain, sebelumnya Timur Pradopo tidak termasuk dalam daftar pencalonan Kapolri karena sebagai Kapolda Metro Jaya ia berpangkat inspektur jenderal. Sedangkan calon Kapolri diambil dari calon-calon yang memiliki pangkat tiga bintang atau komisaris jenderal. Untuk membuat agar dirinya layak dicalonkan, pada tanggal 4 Oktober pagi, Inspektur Jenderal Timur Pradopo diberhentikan sebagai Kepala Polda Metro Jaya dan diangkat menjadi Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Polri. Pangkatnya pun dinaikkan menjadi komisaris jenderal.

Ini bukan praktik yang baru. Presiden Soeharto pun pernah melakukannya ketika ia ingin mengangkat Wiranto sebagai Panglima ABRI. Meskipun tidak secepat Timur Pradopo, tetapi pada masanya dianggap cukup cepat. Pada tahun 1994, Wiranto sebagai Panglima Kodam Jaya berpangkat mayor jenderal, tahun 1996 diangkat sebagai Panglima Kostrad dengan pangkat letnan jenderal, tahun 1997 diangkat sebagai KSAD dengan pangkat jenderal, dan tahun 1998 menjadi Panglima ABRI.

Tindak pelaku kekerasan

Dengan masuknya nama Timur Pradopo sebagai calon tunggal Kapolri, Komisi III DPR memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali menerima. Meskipun agar tidak terkesan sebagai tukang stempel, DPR menerima Timur Pradopo dengan memberikan beberapa catatan, yang tentunya sangat penting.

Catatan dari F-PDIP adalah Kapolri harus memprioritaskan penyelesaian kasus pemberian dana talangan kepada Bank Century, Polri tetap independen, memberikan perlindungan pada keberagaman masyarakat, dan menindak pelaku kekerasan di masyarakat. Sesuatu yang tidak dapat diberikan oleh Kapolri sebelumnya, yakni Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri. Sementara catatan dari F-PAN adalah Kapolri harus menyelesaikan perkara yang menarik perhatian masyarakat dan menjaga profesionalismenya.

Sebagai masyarakat umum, ada dua hal penting yang diharapkan dapat diberikan oleh Kapolri baru Timur Pradopo, yakni memberikan perlindungan pada keberagaman masyarakat dan menindak pelaku kekerasan di masyarakat serta yang tidak kalah penting adalah membantu mengatasi kemacetan lalu lintas di Ibu Kota yang sudah bagaikan mimpi buruk.

Khusus mengenai memberikan perlindungan keberagaman masyarakat dan menindak pelaku kekerasan di masyarakat, itu tidak dapat ditunda-tunda lagi. Ini mengingat ada sebagian anggota masyarakat yang dengan terang-terangan menggunakan kekerasan untuk menindas kelompok lain. Dan, hebatnya, semua itu dilakukan tanpa ada penindakan dari aparat keamanan, dalam hal ini polisi.

Bahkan, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, 4 Oktober, mengatakan, ”Negara seakan tidak hadir.” Penilaian itu diberikan Mahfud MD karena berlarut-larutnya berbagai kekerasan di negeri ini. Penegakan hukum, yang diharapkan menjadi penyelesaian konflik di masyarakat, justru memunculkan ketidakadilan. Bahkan, menurut Mahfud MD, ketidakadilan itu bukan cuma terjadi pada perlakuan aparat penegak hukum kepada masyarakat dan penguasa/pengusaha, melainkan juga pada keputusan pengadilan. Tidak sedikit rakyat kecil yang terpaksa melakukan tindak pidana dihukum lebih berat dibandingkan pelaku korupsi yang jelas merugikan negara.

Khusus untuk mengatasi kemacetan lalu lintas, kita berharap agar Polri menindak tegas pelanggar tanda dan rambu lalu lintas. Ini mengingat kemacetan lalu lintas tidak hanya terjadi karena terlalu banyaknya kendaraan di jalan, tetapi juga karena rendahnya disiplin pengguna jalan dalam mematuhi tanda dan rambu lalu lintas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com