MAKASSAR, KOMPAS
Demikian diungkapkan Kepala Subbidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Kuswiyanto pada acara Kawasan Timur Indonesia (KTI) Expo dan Forum 2010 di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (7/10).
Berdasarkan data Bappenas, nilai investasi, baik dari penanaman modal asing maupun dalam negeri, tahun 2009 yang lebih dari 20 miliar dollar AS hanya 18 persen yang tertanam di KTI. Sementara kontribusi sektor
Indikator itu menunjukkan ketimpangan signifikan mengingat luas KTI 68 persen dari luas Indonesia. ”Sebenarnya persoalan utama lambannya pembangunan di KTI karena lemahnya interaksi ekonomi antardaerah,” tutur Kuswiyanto.
Ia mencontohkan, pertumbuhan pesat yang dialami Sulsel tidak diikuti daerah di sekitarnya, seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, hingga Papua. ”Dengan adanya otonomi daerah, setiap kepala daerah justru berlomba-lomba meminta bantuan proyek yang sama kepada pemerintah pusat,” katanya.
Beberapa kepala daerah di KTI juga belum memiliki kesadaran untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Iskandar Aminsyah (45), pengusaha di bidang ketenagalistrikan, mengaku tertarik membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro di Sulteng. Namun, ia mengurungkan niatnya setelah tak kunjung mendapat izin dari pemerintah daerah.
Begitu pula dengan Syarief Burhan (48) yang batal berinvestasi pada pembangunan saluran irigasi di Papua.
Pemerintah pusat sebenarnya telah berupaya mempercepat proses pembangunan di KTI dengan mendirikan badan usaha milik negara, PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), dua tahun lalu. Tujuannya, membantu pengusaha lokal dalam pembiayaan proyek pembangunan infrastruktur, seperti jalan, kelistrikan, irigasi, dan transportasi.
Namun, kesempatan itu belum direspons pengusaha lokal dengan baik.