Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Otonomi Daerah Suburkan Persekongkolan Kekuasaan

Kompas.com - 07/08/2010, 03:25 WIB

Jakarta, kompas - Otonomi daerah yang tak diikuti peningkatan partisipasi dan pengawasan oleh masyarakat menjadi salah satu penyebab semakin maraknya korupsi di daerah. Penguasa lokal bersekongkol dengan pengusaha untuk merampas anggaran daerah.

”Otonomi daerah menyuburkan persekongkolan penguasa dan pengusaha. Otonomi memindahkan korupsi yang dulu marak di pusat ke daerah,” kata Hadi Supeno, mantan Wakil Bupati Banjarnegara, Jawa Tengah, di Jakarta, Jumat (6/8).

Penulis buku Korupsi di Daerah: Kesaksian, Pengalaman, dan Pengakuan ini menjelaskan, awal persekongkolan dimulai dari proses pemilu kepala daerah (pilkada) yang lekat dengan politik uang. ”Pilkada sekarang butuh banyak uang. Bagi yang tengah menjabat (petahana), dalam dua tahun terakhir pasti jorjoran cari uang dari proyek. Pilihannya datang ke pengusaha. Padahal, tiada makan siang gratis,” katanya.

Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Fahmi Badoh menambahkan, ”Otonomi daerah menguatkan oligarki di tingkat lokal. Persekongkolan elite ini biasanya berdasarkan ikatan keluarga, kesukuan, hingga asosiasi bisnis.”

Menurut Fahmi, banyak sekali peraturan atau anggaran yang disusun tanpa konsultasi publik. ”Rapat terkait anggaran tertutup dan tidak ada pertanggungjawaban langsung kepala daerah kepada masyarakat. Mandat terputus begitu selesai pilkada. Tak ada pengawasan,” ujarnya.

Bahkan, kata Hadi, kebanyakan proyek di daerah dirancang jauh hari oleh pengusaha rekanan dengan penguasa sebelum ada pembahasan anggaran. Tender hanya main-main. ”Banyak perusahaan daerah tidak tahu cara menyusun tawaran tender. Akhirnya birokrasi yang buat dan mengatur. Kalau ada perusahaan yang protes, pasti tak akan diberi kesempatan lagi. Sekarang jarang ada pengumuman lelang yang diprotes,” paparnya.

Hadi mengakui, beberapa daerah kini menyewa mantan karyawan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan untuk mengawal APBD. ”Namun, tujuannya lebih mengakali anggaran. Bukan untuk mengatur agar lebih baik, tetapi bagaimana mencurinya,” katanya.

Menurut Hadi, walaupun yang menjadi aktor utama korupsi di daerah adalah pejabat dan pengusaha setempat, pejabat di tingkat pusat sebenarnya juga terlibat. ”Hampir semua dana yang diturunkan ke daerah pasti ada konsensi. Zaman saya menjabat dulu biasanya sampai 8 persen. Untuk pejabat di pusat 5 persen dan 3 persen kembali ke kepala daerah melalui calo di pusat itu,” ujarnya.

Dana yang paling banyak disunat, kata Hadi, adalah dana alokasi khusus. ”Dana itu tak mungkin turun tanpa negosiasi, harus ada proposal dulu. Dan proposal itu menumpuk di meja pengambil keputusan. Butuh negosiasi. Negosiasi itu tidak gratis,” tuturnya.

Semua pilkada

Hakim konstitusi Hamdan Zoelva, Jumat, mengakui, praktik politik uang terjadi hampir dalam semua pilkada. Setidaknya, untuk perkara pilkada yang masuk ke Mahkamah Konstitusi, semua ada politik uang.

”Saya termasuk yang mengkhawatirkan perkembangan demokrasi kita terkait perilaku korupsi, khususnya dalam penyelenggaraan pilkada. Nyatanya, butuh biaya yang besar, yang kalau dihitung tidak sebanding dengan penghasilan kepala daerah,” ujar Hamdan.

Ia menambahkan, hampir di setiap pilkada ada kecurangan terkait pemberian uang atau natura. Biaya kampanye sering kali tidak wajar. ”Seakan-akan untuk kampanye, padahal untuk politik uang,” katanya.

Hamdan bahkan menyebutkan pilkada yang berlangsung saat ini merupakan wujud demokrasi yang minus aturan. Demokrasi tanpa aturan sama dengan tiran.

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto menuturkan, untuk menghindari korupsi, partainya membuat peraturan internal dalam pendaftaran calon kepala daerah. Jika ada jajaran struktural kedapatan menerima imbalan, akan dikenai sanksi pembebastugasan dan pengembalian suap dua kali lipat.

”Kami juga khawatir dengan maraknya korupsi di daerah. Ketua Umum (Megawati Soekarnoputri) juga menyatakan kekhawatiran serupa,” kata Hasto.

Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif menuturkan, mahalnya biaya politik dan pemberantasan korupsi yang masih tebang pilih membuat partai politik dan koruptor sering kali saling membutuhkan.

”Belum dapatnya partai membangun jaringan kekuasaan sosial politik yang luas di masyarakat membuat mereka membutuhkan uang yang dimiliki koruptor untuk beraktivitas. Koruptor membutuhkan perlindungan politik dari partai,” kata Yudi.(aik/ana/bur/*/nwo)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com