Jakarta, Kompas -
Demikian terungkap dalam diskusi dan peluncuran buku Temanku Teroris? yang ditulis pengamat terorisme Noor Huda Ismail di Toko Buku Gramedia Grand Indonesia, Jakarta, Kamis (15/7). Huda menulis memoar kisah hidup Utomo Pamungkas alias Fadlulah Hasan alias Mubarok, temannya di Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah. Mubarok merupakan salah satu terpidana peristiwa bom Bali I.
”Dalam tradisi di JI (Al Jamaah Al Islamiyah), ada prinsip sami’na wa ato’na, kami mendengar, kami ikuti atau kami taat. Harusnya sami’na wa pikir-pikirna. Tidak ada budaya critical thinking sehingga hal itu menjadi pintu menuju ekstremisme,” ujar Huda.
Huda juga mengkritisi kealpaan negara atau pemerintah yang tidak melakukan rekonsiliasi antara keluarga mantan narapidana dan keluarga dari korban-korban bom. Huda kini membantu mendampingi para mantan narapidana terorisme melalui yayasan yang dipimpinnya, yakni Yayasan Prasasti Perdamaian.
Menurut Huda, saat ini yayasannya mendampingi 10 mantan narapidana terorisme. Mereka diajak dan diberikan tanggung jawab oleh Huda untuk menjalankan berbagai macam usaha untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka sendiri. Selain itu, mereka juga diajak sebanyak-banyaknya bergaul dengan kalangan plural.
Dengan cara seperti itu, katanya, kemungkinan mereka untuk kembali ke aktivitas radikal terbatasi. Dalam hal ini, Huda mengaku sejauh ini lebih memercayai metode disengagement, yaitu mantan napi diupayakan terputus dari kesempatan untuk berhubungan dengan aktivitas kekerasan.