Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dialog Kreatif Lintas Agama

Kompas.com - 03/07/2010, 13:37 WIB

Oleh: Muhammadun AS *

Judul buku                   : Jalan Sutra Baru: Dialog Kreatif Islam-Budha

Penulis                         : Daesaku Ikeda dan Majid Tehranian

Penerbit                       : Mizan Bandung

Tebal                           : 310 halaman

Cetakan                       : I, Mei 2010

KOMPAS.com — Dialog lintas peradaban semakin krusial untuk terus digalakkan di tengah krisis kemanusiaan global di berbagai negara dunia. Dialog ini bukan sekadar tegur sapa dalam sebuah seminar, melainkan haruslah ada perumusan mengenai agenda kerja dan aksi nyata yang bisa membuat ketentraman global. Agenda ini sangat mendesak karena krisis satu negara dengan negara lain terus terjadi tanpa henti. Lebih tragis, krisis antarnegara ini kerap diselubungi oleh krisis beragama dan berbudaya. Krisis politik kerap kali diseret menjadi konflik beragama. Tak pelak, konflik antaragama terus mengintip bahaya laten yang bisa mengguncang tragedi yang mengenaskan. Konflik Timur Tengah dan konflik Islam-Barat merupakan bukti bahwa agama diseret untuk dijadikan kedok politik dalam hasrat kepentingan.

Dua sosok penulis buku ini bukan saja menulis pentingnya dialog kreatif, melainkan telah lama malang melintang menyusun gerakan dengan penuh konsistensi dan percaya diri. Buku ini hanyalah sebagian dari percikan pemikiran dan gerakan kedua pemikir untuk dinikmati sebagai oase di tengah gemuruh krisis kemanusiaan yang tiada henti. Keduanya berjibaku dalam Soka Gakkai Internasional, sebuah lembaga sosial kemasyarakatan yang menjadi jendela terwujudnya dialog kreatif di berbagai kawasan di Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Barat.

Daesaku Ikeda merupakan pemikir dari ajaran Budha (Buddha), sedangkan Majid Tehranian, filosof Muslim asal Iran. Keresahan yang dituangkan dalam buku terlihat dari diskusi hangat keduanya yang galau dengan krisis kerukunan antarumat manusia karena banyak terjebak dalam pamahaman artisifisial ajaran agama. Sulitnya hidup rukun dalam koeksistensi multi-peradaban terbukti dalam berbagai konflik antarumat manusia yang terus terjadi. Mulai lahirnya terorisme, radikalisme agama, konflik etnis, sampai perang berlumpuran darah. Manusia kehilangan kepercayaan diri untuk saling percaya dengan manusia lainnya sehingga selalu curiga dan was-was dalam membangun pergaulan. Konflik tak terhindarkan, bahkan kerap kali menjadikan agama sebagai legitimasi yang mengesahkan benturan konflik.

Keduanya menjelaskan bahwa, baik Islam maupun Buddha terjadi pemahaman yang saling menyatu untuk membangun dialog kreatifnya. Islam mengajarkan bahwa umat manusia merupakan ciptaan paling mulia sehingga tugasnya adalah menciptakan kemuliaan di muka bumi. Jangan sampai manusia terjebak dalam jalan tragis sehingga menumpukkan nurani yang menancapkan dalam diri. Manusia bisa terjatuh dalam kubangan nista yang jauh dari autentisitas dirinya sebagai khalifah di muka bumi. Demikian juga dalam ajaran Buddha yang mengajarkan manusia untuk menebarkan kebajikan universal dengan mengekang diri sendiri mengumbar nafsu dan kuasa. Manusia, bagi Buddhis, harus bertapa dengan menjaga diri dari kenistaan. Pertapaan bukan berarti menjauh dari keramaian publik, melainkan dengan terjun langsung menebarkan kebajikan untuk kebaikan dan kedamaian sesama. 

Pertapaan manusia bisa membuka mata batin yang jernih. Dengan kejernihan inilah, bangunan dialog kreatif lintas peradaban dimulai. Dengan demikian, kita pasti akan menemukan jelajah kejernihan baru yang belum terungkap sebelumnya karena kejernihan hati membuka cahaya yang semakin membuat wajah diri manusia terang benderang. Kotoran diri kerap hadir karena manusia alpa memaknai diri untuk terus bertapa. Dan kotoran inilah yang kerap membuat dialog peradaban jalan di tempat, bahkan kerap dikhianati. Kejernihan hati akan menjadi modal paling baik untuk terus membuka jembatan baru yang lebih kreatif dan inovatif dalam melakukan rekayasa sosial di tengah krisis yang terus berkecamuk.

Dialog kreatif yang telah dilakukan Soka Gakkai telah menciptakan iklim baru dialog lintas peradaban di Asia Tenggara khususnya. Bahkan, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kagum dengan gerak Soka Gakkai yang terus berupaya menyinergikan dialog lintas peradaban. Ide-ide Gus Dur memang sangat sinergis dengan gerakan Soka Gakkai sehingga kedua penulis ini mempunyai jalinan yang menawan dengan berbagai kalangan di Indonesia dalam merajut dialog. Intensitas dialog ini menjadikan hubungan antaragama di kawasan Asia Tenggara menjadi semakin mesra. Kemesraan inilah yang didambakan kedua penulis dalam rangka menyusun wajah baru dunia yang damai, asri, toleran, dan berkeadaban.

Jalur sutra dipilih sebagai salah media dialog yang menghidupkan kembali jalur dialog antarwarga negara. Ini bukan berarti meneguhkan kembali jaringan China-Islam, melainkan jalur lebih khusus kepada jalur Asia. Jalur sutra bukanlah jalur China an sich karena jalur sutra adalah milik semuanya, yakni jalur yang menghubungkan kerja sama dan dialog warga Asia. Asia menjadi fokus karena lahirnya agama-agama besar dunia berawal dari kebangkitan spiritualitas di Asia. Baik Islam, Buddha, Hindu, Confuse, Kristen, maupun lainnya berawal dari spiritualitas Asia. Tak salah kalau dialog lintas agama yang dimulai dari Asia bisa menjadi tonggak lahirnya kerja sama dan dialog dengan berbagai kalangan di dunia.

Jalur sutra ini sampai saat ini masih banyak menyimpan para guru bijak yang terus menyalakan lilin perdamaian bagi dunia. Di tengah berbagai kecamuk sosial dan krisis kemanusiaan, para guru bijak di Asia masih tekun menebarkan kebajikan universal yang termaktub dalam kitab kehidupan sehari-hari. Para guru bijak ini tidak begitu suka dengan berbagai keramaian di media, lebih suka tekun dengan keyakinan yang mereka jalani sebagai lelaku. Daesaku Ikeda dan Majid Tehranian hadir untuk merangkai jalinan kearifan yang lahir dari mata air kebajikan yang coba ditebarkan kepada dunia. Buku ini menjadi salah satu rintisan untuk semakin menguatkan jalinan itu agar tetap memancarkan cahaya bagi umat manusia.

*Peneliti Center for Pesantren and Democracy Studies (Cepdes) Jakarta.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com