Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Polri Versus "Tempo"

Kompas.com - 03/07/2010, 02:44 WIB

OLEH TJIPTA LESMANA

Pada 1956 William S Siebert dan kawan- kawan menerbitkan Four Theories of the Press. Buku itu tampaknya terilhami laporan Commission on Freedom of the Press pimpinan William Ernest Hocking, yang dibentuk Pemerintah Amerika Seri- kat sebagai respons terhadap kritik publik pada pelaksanaan kebebasan pers liberal.

Buku Siebert dan kawan-kawan sampai hari ini masih bacaan wajib bagi sebagian besar mahasiswa komunikasi dan jurnalistik di AS. Yang menarik dalam buku itu adalah perbandingan antara sistem pers liberal dan sistem pers pertanggungjawaban sosial (selanjutnya: PJS). Laporan Hocking lebih rinci menjelaskan dikotomi pers liberal dan pers PJS.

Hocking yang juga anggota Komisi Kebebasan Pers mendesak pers Amerika agar meninggalkan sistem liberal dan menjalankan sistem PJS sambil mengingatkan wartawan bahwa di balik kebebasan selalu ada pertanggungjawaban kepada publik, bangsa, dan negara. Malah, pertanggungjawaban mesti diletakkan di atas kebebasan karena konsekuensi dan dampak yang bisa ditimbulkan oleh setiap pemberitaan pers.

Tentu saja Komisi Kebebasan Pers pendukung kuat kebebasan pers sebab hanya dengan pers yang bebas, pemerintah bisa diawasi dan dicegah dari penyimpangan. Pers yang bebas juga menjadi forum penting untuk mencari kebenaran. Di sisi lain, Komisi memperingatkan pers untuk tak menyebarluaskan berita bohong, tak menjadi pelacur editorial, dan tak menjadi provokator kebencian. Kebebasan pers harus juga diartikan sebagai kebebasan publik menolak mengonsumsi berita yang dinilai menyesatkan, bercorak sampah.

Pandangan teori PJS di sana sini berbeda dengan pandangan libertarian, di samping banyak persamaannya. Menurut sistem pers liberal, berita adalah informasi apa saja yang menurut wartawan atau media layak diberitakan. Konsep berita terletak pada kata ”layak diberitakan”. Siapa penentu ”layak”? Wartawan liberal menjawab dengan cepat: ”Kami sendiri!” Layak-tidaknya sebuah informasi diberitakan kepada publik sepenuhnya berada di tangan wartawan atau pemimpin media bersangkutan.

Dualisme

Pers Indonesia dalam era reformasi ini penganut sistem liberal atau PJS? Pertanyaan sentral ini seyogianya dijawab kalangan pers sendiri. Namun, dari sudut pandang UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, sepak terjang pers, serta hubungan pers dan pemerintah, dapat disimpulkan bahwa pers Indonesia dalam 10 tahun terakhir sesungguhnya sudah ”berangkulan” dengan sistem pers liberal sebagaimana digambarkan Siebert.

Namun, dikaji dari ketentuan KUHP yang masih berlaku sampai saat ini, Kode Etik Jurnalistik yang dibuat berbagai organisasi pers, dan aspirasi pemerintah ataupun masyarakat pada umumnya, Indonesia menganut sistem pers PJS.

Dualisme pandangan ini jadi sebab munculnya sikap pro-kontra saban mencuat kasus yang menyeret pers dan pemerintah dalam posisi berhadap-hadapan. Penganut teori pers liberal membela Ariel, Luna, dan Cut Tari sebab yang mereka lakukan, kalau benar, murni urusan pribadi yang tak boleh dicampuri siapa pun. Pemerintah dan media tak usah berpretensi sebagai penjaga moral. Pandangan seperti ini tentu ditolak keras oleh penganut pers PJS.

Penganut teori pers liberal juga percaya bahwa pers bebas mengecam pemerintah dan menelanjangi setiap petinggi pemerintah yang diduga korupsi. Kalau tudingannya kelak ternyata keliru, pers tetap tak bisa disalahkan secara hukum. Kredo ini dimanifestasikan oleh putusan Mahkamah Agung AS dalam kasus landmark Sullivan vs New York Times (1964). Menurut Mahkahmah Agung, diskursus publik (termasuk kritik pedas terhadap pejabat pemerintah) harus dibuka selebar mungkin tanpa dibatasi oleh hambatan apa pun. Pejabat pemerintah baru bisa menuntut ganti rugi manakala dapat membuktikan bahwa laporan pers itu dibuat berdasarkan sikap actual malice atau sengaja menjatuhkan martabat pejabat yang bersangkutan.

Pandangan ini didukung pula oleh teori PJS. Dalam laporannya yang kemudian menjadi dasar pemikiran teori pers PJS, Komisi Kebebasan Pers AS menegaskan bahwa ide dasar kebebasan pers adalah membolehkan setiap wacana, yang patut menjadi perhatian publik, dibahas terbuka. Hanya dengan jalan ini kebenaran bisa ditegakkan. Kebenaran tak boleh jadi monopoli satu pihak sebab kebenaran sesungguhnya milik rakyat.

Dengan perspektif teori pers liberal versus teori PSJ, kita bisa memahami laporan Tempo, ”Rekening Gendut Perwira Polisi”. Polisi dan beberapa elemen masyarakat menilai laporan itu insinuatif, cermin praktik pers liberal, apalagi jika KUHP yang menjadi pijakannya. Namun, penganut teori PJS juga mengakui pers sebagai pengawas pemerintah dan penegak kebenaran. Untuk itu, siapa pun yang terkena semprot media tak boleh serta- merta marah, melainkan harus bersama mencari dan menegakkan kebenaran.

Sejauh mana kebenaran laporan Tempo? Tanggung jawab pembuktiannya juga terletak pada Polri, khususnya para jenderal yang namanya disebutkan dalam laporan itu. Polri tak bisa serta-merta menuding bahwa laporan itu fitnah dan menjatuhkan nama baiknya. Fitnah baru terbukti apabila laporan Tempo bisa dibuktikan tidak berdasarkan fakta, bahkan mengandung unsur actual malice. Bukankah isu sentral dalam kasus ini, sejauh mana kebenaran tudingan Tempo bahwa sejumlah jenderal polisi punya harta yang tak masuk akal, jauh melampaui gaji mereka setiap bulan!

TJIPTA LESMANA Penulis Buku Pencemaran Nama Baik dan Kebebasan Pers (2005)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com