Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Otonomi Daerah Belum Optimal

Kompas.com - 02/07/2010, 03:32 WIB

Oleh Khaerul Anwar dan Edna C Pattisina

Lewat otonomi daerah, pemerintah daerah yang dekat dengan masyarakat diharapkan dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Pemda juga diharapkan mampu menjamin kesinambungan pemerintahan nasional.

Masalahnya, baik antara pusat dan daerah maupun interdaerah, yang terjadi adalah rebutan anggaran dan saling melimpahkan pekerjaan. Belum lagi korupsinya.

Ervyn Kaffah dari Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi) menengarai, bidang kesehatan termasuk segmen rentan korupsi, bahkan menjadi sapi perah untuk membiayai kampanye pemilu kepala daerah (pilkada). Salah satu kasus yang menghebohkan, sekitar 2004, kasus korupsi alat-alat kesehatan, obat-obatan, dan rehabilitasi puskesmas di Kabupaten Lombok Barat senilai Rp 7,5 miliar membawa Kepala Dinas Kesehatan Lombok Barat HL Sekarningkrat ke penjara.

Dalam eksaminasi publiknya, Somasi mempertanyakan, kenapa beberapa pejabat waktu itu, seperti Ketua Bappeda Lombok Barat HL Srinata, Bupati Lombok Barat Iskandar, dan Sekretaris Daerah HL Kusnandar Anggrat, tak menjadi terdakwa, padahal dalam berita acara pemeriksaan disebutkan, mereka juga menerima uang dalam proyek penunjukan langsung itu.

Saat ini yang menjadi sorotan adalah program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) serta Jamkesmas Daerah yang bermasalah mulai dari pendaftaran peserta. Menurut Ervyn, tidak jelas akuntabilitasnya tentang siapa yang berhak mendapat kartu pelayanan kesehatan gratis itu. ”Seharusnya Jamkesda diberikan untuk yang belum kebagian Jamkesmas dari pemerintah pusat, jangan datanya di- copy paste saja,” kata Ervyn.

Perebutan

Di Kabupaten Bima, perebutan RSUD Bima antara kabupaten sebagai pemilik dan Kota Bima sebagai yang ketempatan rumah sakit membuat kondisi rumah sakit itu buruk. Kisah-kisah tentang RSUD Bima bagaikan menjadi legenda urban, mulai dari dokter yang jarang tampak di unit gawat darurat sampai dokter yang memberikan resep lewat telepon berdasarkan masukan suster jaga. ”Herannya, bukannya menjadi fokus pelayanan, RSUD Bima malah jadi sumber terbesar PAD,” kata Husein Laodet, pengurus pemuda adat, Lembaga Sampela Mbojo.

Kepala Bagian Keuangan Kabupaten Bima H Wafdin mengatakan, dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Rp 19,247 miliar tahun 2009, pendapatan paling besar adalah dari sewa aset Rp 2,3 miliar, pajak penerangan jalan Rp 1,759 miliar, dan retribusi terbesar dari RSUD, yaitu Rp 1,788 miliar.

Wafdin mengatakan, kalau dihitung-hitung sebenarnya Pemkab Bima banyak mengeluarkan subsidi untuk RSUD Bima, yaitu untuk listrik, obat-obatan, serta makanan dan minuman pasien. Namun, setelah ditelisik lebih jauh, tertera dalam APBD Kabupaten Bima, porsi belanja untuk RSUD Bima sebesar Rp 12,18 miliar, 72 persen dialokasikan untuk gaji dan sisanya untuk belanja administratif, termasuk rapat, listrik, dan perjalanan dinas. Hanya Rp 498 juta atau 4 persen yang dialokasikan untuk makanan pasien.

Saat mengunjungi rumah sakit itu, Kamis (10/6) pukul 22.00, rumah sakit sangat ramai. Pengunjung tidak hanya bisa keluar masuk, tetapi juga bisa menginap di kamar untuk yang sakit seenaknya. Seperti di ruang ekonomi untuk pria, anak-anak dan keluarga datang serta bercakap-cakap sambil merokok. Di samping kiri dan kanan, pasien dengan infus, termasuk Taufiq (30), warga Kampung Melayu yang sudah dua bulan menanti diamputasi kedua tangannya tanpa ada jadwal operasi yang jelas.

Di UGD, dr Reza Refial yang berjaga mengatakan, pihak rumah sakit agak kesulitan meminta orang Bima untuk tertib. Menjawab pertanyaan tentang adanya pasien di UGD yang tidak ditangani dokter, menurut dia, hal itu karena prioritas penyakit pasien itu tidak perlu segera ditangani dokter. Saat itu ada seorang pasien di UGD yang baru masuk dengan alasan panas tinggi dan mempertanyakan kondisi lantai UGD yang kotor serta kenapa dia tidak ditangani dokter.

Masalah otonomi

Rektor IKIP Mataram Said Rupina menggarisbawahi bahwa otonomi daerah didesain untuk mendekatkan masyarakat dengan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi rakyat. Masalahnya, banyak hal belum optimal, seperti hanya 20 persen anggaran yang dipergunakan untuk rakyat, sementara sisanya untuk belanja rutin, termasuk gaji pegawai.

Said menyoroti, hal utama yang menyebabkan otonomi daerah di NTB belum optimal, yakni pembagian kerja belum jelas antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Ada perintah pemerintah pusat untuk membentuk ini dan itu, tetapi tidak sesuai dengan kondisi daerah. Ini menghabiskan sumber daya manusia dan anggaran. Selain itu, dari pemerintah daerah juga tidak mempersiapkan sumber daya manusia. Tugas pemerintah tidak dipahami dan proyek-proyek diadakan untuk kelompok seperti kepala dinas yang merupakan tim pemenangan. ”Tanggung jawab sosial masyarakat jadi kurang karena semua ditanya ada uangnya atau tidak,” kata Said.

Koordinasi

Wakil Gubernur NTB Badrul Munir mengatakan, pihaknya harus membuat terobosan agar bisa bekerja sama dengan kabupaten. Untuk pendidikan, misalnya, diadakan pembagian wilayah, pemerintah provinsi memberikan beasiswa kepada sekolah-sekolah swasta dan agama. Sekolah negeri disubsidi oleh pemerintah kabupaten/kota. Masalah koordinasi dengan pusat, diakui Badrul Munir, adalah masalah manajemen, di mana setiap departemen yang datang ke NTB memajukan proyeknya masing-masing untuk sektor yang sama, tetapi dengan pendekatan berbeda.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com