Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Trotoar Kota Bangkok

Kompas.com - 01/07/2010, 16:10 WIB

KOMPASIANA.com - Kembali menginjakkan kaki di Kota Bangkok, setelah beberapa bulan, sekilas tidak tampak ada sesuatu yang baru. Panasnya, lembabnya, lalu lintasnya, macetnya dan hiruk-pikuknya masih sama saja. Memang jumlah wisatawan, khususnya kulit putih yang berlalu-lalang di atas trotoar tidak sebanyak biasanya. Dan itu hanya salah satu perbedaan yang bisa dilihat dengan mata.

“Krisis keuangan di Eropa dan situasi politik di dalam negeri menjadi penyebab terbesar menurunnya wisatawan,” begitu jelas seorang teman. Tentu saja. Belum lama ini konflik terbuka akibat pertentangan politik antara Yellow Shirt dengan kelompok yang dikenal dengan nama Red Shirt telah menggoyang keamanan dan mengganggu ketentraman dalam negeri.

Namun, seperti Jakarta dan kota-kota raksasa lain di Asia, denyutnya tidak dapat dihentikan begitu saja. Berjalan di atas trotoar di pusat Kota Bangkok seolah kehidupan warganya mengalir deras seperti biasa, walaupun di bawah permukaan arus pemberontakan diperkirakan masih begitu kuat dan siap membanjiri kota kapan saja.

Setiap kali harus menapaki trotoar Kota Bangkok, sepasang kaki saya yang hanya terbiasa menginjak pedal gas di jalanan kota Yogyakarta kerap berteriak-teriak minta jeda. Sambil mengistirahatkan mereka iseng-iseng saya ambil kamera dan mengabadikan apa yang menarik perhatian saya.

Tidak beda dengan kota-kota besar di Asia lainnya, di antara rimbunnya belantara beton dan pekatnya kepulan asap knalpot yang menyebarkan karbon monoksida ke udara, masih terlihat banyak orang mencoba bertahan dengan berbagai cara.

Di antara kencangnya roda kehidupan kota yang siap menggilas siapa saja, masih terpelihara simbiose mutualisme antara warga yang sama-sama tergolong papa. Selain itu, sama juga dengan kota-kota di Indonesia, di mana-mana tampak betebaran papan-papan billboard yang menghalangi langit kota dan mengganggu - atau justru menarik - mata

Ketika menyusuri trotoar dari satu tempat ke tempat lainnya, akhirnya saya temukan salah satu perbedaan besar yang tertangkap mata. Reruntuhan bangunan Central World yang dibakar massa pada  Rabu minggu ketiga bulan Mei lalu. Kini mega shopping complex itu untuk sementara tidak beroperasi, kecuali hotel dan kegiatan perkantorannya saja.

Skywalk - lorong yang menghubungkan dua stasiun skytrain  yang melintasi Central World - yang biasanya penuh dengan lalu lalang orang - tampak sepi. Ada sedikit rasa ngeri melihat bekas-bekas kemarahan sang api di sana-sini, mengingatkan saya pada kerusuhan yang sering terjadi di negeri sendiri. Beberapa bulan lalu, belum lama, masih saya lihat pesta minum bir di plaza salah satu pusat gaya hidup high-end di kota Bangkok ini.

Sambil terus menyusuri trotoar menuju hotel untuk mengakhiri hari, terpikir oleh saya, betapa media massa sering kali membesar-besarkan perkara. Membuat orang awam seperti saya menyimpan rasa takut yang sebenarnya tiada guna untuk dipelihara. (Endah Raharjo)

 

Artikel lainnya bisa dilihat di http://wisata.kompasiana.com

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com