Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hukuman Gantung Terakhir di Batavia

Kompas.com - 01/07/2010, 02:52 WIB

KOMPAS.com --Langit di luar masih gelap ketika saya terbangun oleh bunyi terompet kavaleri yang melewati Molenvliet. Ketika itu pukul 05.30…Saya jadi teringat pada pembicaraan semalam di societeit. Rencananya pukul 07.00 pagi ini seorang China bernama Tjoe Boen Tjiang akan dihukum mati karena beberapa bulan lalu merampok dan membunuh dua wanita,” demikian Justus van Maurik menuliskan dalam buku Indrukken van een Totok, Indische type en schetsen.

           

Ia juga menggambarkan trem uap yang sepagi itu sudah sarat penumpang dari Kramat menuju Balai Kota Batavia demi menonton hukuman gantung. Van Maurik menulis, ia bimbang ketika baboe di mana ia tinggal selama di Batavia, mengajaknya bergegas demi melihat hukuman gantung yang belum pernah ia lihat di tanah kelahirannya, Belanda. Akhirnya sampai juga ia di stadhuisplein, alun-alun balai kota, di mana sudah sesak orang berkumpul. Baik perempuan, maupun pria, baik Eropa, Arab, Keling, Tionghoa, sampai pribumi.

           

Dalam jurnal yang ia tulis saat bertandang ke Batavia di akhir abad 19 itu, van Maurik benar-benar melukiskan semua kejadian, yang baru pertama kali ia lihat, secara detil. Terjemahan bagian ini dimuat dalam Ketoprak Betawi – Intisari berjudul menonton Orang Dihukum Gantung. Namun dalam buku aslinya, di mana ia menuliskan judul Een Executie pada awal kisah ini, memang tertulis jelas bagaimana van Maurik terkesima dan bahkan “dihantui” wajah Tjoe Boen Tjiang alias Impeh saat pesakitan itu menghadap sang maut.

           

Van Maurik menuliskan secara rinci bagaimana ia kemudian mencari tempat agar bisa melihat proses itu dari dekat dan lebih jelas. Ia menulis, “ ‘t Is een flinke knappe jonge man met een gunstig uiterlijk,” demikian sebagian dari kalimat yang ia tulis di halaman 179. Kalimat itu  menggambarkan bahwa si Impeh itu ternyata pemuda ganteng dan tinggi besar. Si Impeh ini tak terlihat gentar menghadapi maut, ia bahkan sempat menghisap cerutu sebelum naik ke panggung kematian. Pakaiannya serba putih dengan kuncir diikat dengan pita merah.

           

Pada bagian lain van Maurik juga mengakui, ia begitu terkesima dengan keberanian Impeh. Ia bahkan merasa iba pada Impeh. Meski Maurik kemudian menampik sendiri simpati itu jika mengingat bahwa pemuda itu pada kenyataannya mampu membunuh perempuan, dua sekaligus, dengan keji dan merampok, pula.

 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com