Frans Sartono
”Rumah bagi saya adalah keluarga. Kalau saya tinggal di suatu tempat tanpa keluarga, itu namanya bukan rumah meski tempat itu dalam bentuk rumah,” kata Prita Mulyasari (32), ibu tabah dengan dua anak.
Gerimis kecil merintik Rabu (13/1) siang lalu di Bintaro. Prita saat itu pulang dari berbelanja bersama anak pertamanya, Khairan Ananta, yang pada Mei mendatang genap berumur empat tahun. Si kecil begitu lengket dengan sang ibu. Ananta dan adiknya, Ranarya Puandita (2), serta suami, Andri Nugroho, adalah keluarga yang disebut Prita tadi. Merekalah yang berada di hati Prita ketika perempuan berpembawaan lembut itu terpisah dari rumah selama berhari-hari.
”Perasaan saya sedih. Hidup serasa tidak jelas dan rasanya saya begitu kangen,” kata Prita tentang pengalaman hidup terpisah dari rumah, dari keluarga yang dicintainya.
Tempat tinggal Prita di Bintaro, kompleks permukiman di selatan Jakarta itu adalah tipikal rumah keluarga muda dengan anak-anak balita. Di halaman teras masih ada sejengkal halaman kecil untuk memasang ayunan bagi anak-anak. Di teras rumah ada rak sepatu dengan sepatu dan sandal mungil milik anak-anaknya yang tertata rapi. Di rak itu juga ada kaleng oli. Maklum, teras itu menyatu dengan tempat mobil alias
Memasuki ruang tamu, akan terlihat betapa Prita memberi ruang kreativitas bagi sang anak. Setidaknya di salah satu dinding ruang tersebut terdapat coret-coretan dari krayon, hasil ”ekspresi” tangan anak-anaknya. Di ruang itu ada akuarium berisi ikan-ikan kecil untuk mengenalkan anak-anaknya pada kehidupan.
Ruang tengah yang merupakan arena keluarga terpajang foto perkawinan Prita dengan Andri Nugroho. Pada dinding lain terpajang foto besar kedua orangtua Prita. Foto-foto anak-anak sejak mereka bayi terpasang di bagian atas rak buku. Pada rak tersebut tertata deretan buku, termasuk serangkaian
Pada ruang tengah itu ada sofa yang menghadap ke arah pesawat televisi. Siang itu anak-anaknya sedang ingin menonton video
Lewat televisi di ruang keluarga itu, Prita, suami, dan anak-anaknya menyaksikan berita, termasuk berita tentang nasib rakyat yang merindukan keadilan. ”Saya menangis waktu
Di balik ruang tengah itu ada dapur di mana Prita menyiapkan sarapan pagi. ”Malam saya sudah siapkan sarapan. Pagi tinggal bikin telur dadar. Tempe goreng celup tepung sudah cukup bagi kami,” kata Prita yang terbiasa bangun pukul empat pagi untuk kemudian salat subuh bersama suami.
Tak jauh dari ruang tengah ada kamar mandi. Suatu kali Prita pernah kesulitan pergi ke kamar mandi. Pasalnya, sang anak, Ananta, melarang Prita beringsut selangkah pun. Sang anak trauma berpisah dari ibunya.
”Pada hari-hari pertama saya kembali ke rumah, saya merasa
Kini anak-anak itu telah mengerti nasib yang dihadapi sang ibu. Prita yang bekerja di sebuah perusahaan asuransi itu sempat memandikan sendiri anak-anaknya. Itu sebagai bentuk kedekatan sebelum Prita bekerja seharian.
”Kami pulang sekitar pukul sembilan malam. Waktu itu kadang-kadang anak-anak sudah tidur.”
Prita memilih lokasi tempat tinggal dengan pertimbangan lingkungan yang baik bagi anak-anak. Termasuk lokasi yang tidak jauh dari sekolah bagi anak-anaknya. Untuk itu, Prita dan suami rela menempuh perjalanan cukup jauh menuju tempat kerja.
Setiap pagi sekitar pukul 07.00 dia dan suami semobil berangkat ke kantor. Suami yang bekerja di bilangan Senen, Jakarta Pusat, harus mengantar Prita terlebih dahulu ke kantor di kawasan Pluit, Jakarta Utara. Begitu juga ketika pulang kerja sekitar pukul 17.00, sang suami harus menjemput Prita terlebih dahulu.
”Waktu kami habis di jalan. Pukul delapan atau sembilan malam baru sampai di rumah,” kata Prita.
Namun, rasa