Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Uga Wiranto, Nasi Goreng Bumbu Cinta (2)

Kompas.com - 12/06/2009, 13:12 WIB

Kisah pertemuan dengan Bapak?

Saya kenal dia sejak umur 15 tahun, kelas 1 SMA. Waktu itu dia sudah Letnan 1, berusia 25 tahun. Saya berasal dari Gorontalo, Sulawesi Utara. Di SMA, kegiatan ekstra kurikuler saya banyak, seperti gerak jalan, baca puisi, nyanyi di radio, atau pemilihan ratu.

Nah, saat pemilihan ratu, kebetulan Bapak jadi juri, menggantikan temannya yang berhalangan. Lalu ketemu lagi saat mengantar saya dan teman-teman pulang dari sebuah acara.

Lulus SMA, saya mau meneruskan sekolah dan ingin menjadi asisten apoteker tapi enggak ada biaya. Ada yang mau membiayai tapi takut jadi utang budi. Bagaimana membalasnya? Akhirnya, saya setuju menikah dengan Bapak, tapi dengan satu janji, ”Tolong kalau punya kelebihan uang, sekolahkan saya.” Jadi, waktu suami tugas di Jawa, saya kuliah di Fakultas Hukum di Jember.

Suka-dukanya menjadi pendamping Bapak?

Ketika sudah memilih menikah, berarti kita harus total. Bapak itu orangnya pintar sekali, sementara saya hanya lulusan SMA ketika menikah. Saya tertatih-tatih mengimbangi laju terbangnya elang. Kalau ingin happy saya harus melakukan perubahan, tapi harus ikhlas. Kalau terpaksa melakukannya, pasti akan tersiksa. Belum lagi, harus mempelajari budaya Jawa karena saya berasal dari Gorontalo. Tapi saya punya kakak sepupu yang suka memberi majalah. Nah, saya banyak baca. Rasa ingin tahu saya besar dan senang pada orang pintar. Saya tidak malu belajar dari orang yang lebih muda.

Prinsip Bapak tentang siapa, apa, di mana, bilamana, bagaimana, mengapa, saya terapkan dalam kehidupan saya. Saya enggak mau memasuki apa yang tidak saya ketahui, tapi saya harus banyak belajar. Misalnya, saat akan diangkat jadi ketua Palang Merah, awalnya tidak mau karena saya, kan, bukan dokter. Tapi begitu terjun langsung, betapa banyak manfaatnya selama 10 tahun aktif di sana.

Ibu termasuk cemburuan?
Dalam perkawinan diperlukan saling percaya. Cemburu wajar karena itu, kan, tanda cinta. Tapi Bapak enggak pernah bilang cinta ketika dulu kami pacaran. Padahal, yang namanya pacaran, kan, harusnya dapat surat cinta, puisi, atau apalah untuk menunjukkan cinta.

Saya pernah tanya, dia sebenarnya cinta atau enggak. Jawabnya, cinta adalah manifestasi dari sikap penuh perhatian, kasih sayang, rasa memiliki, dan mau berkorban untuk orang yang kita sayangi. Kalau cinta karena kecantikan, mau sampai kapan? Kita, kan, semua akan berubah. Banyak, lho, surat pengagum buat dia, tapi saya pura-pura tidak tahu dan tidak bertanya. Kecuali kalau dia cerita.

Dulu sempat diberitakan soal hubungan dekat Bapak dengan Mbak Tutut?

Sebatas dalam konteks pekerjaan, Insya Allah dan alhamdulillah, tidak lebih dari itu. Mbak Tutut, kan, waktu itu Ketua PMI Pusat, sementara saya Ketua PMI DKI Jakarta. Karena Mbak Tutut sebagai anak presiden dan Bapak ajudannya presiden, jadi kedekatannya hanya selaku hamba Allah. Saya sangat percaya pada Bapak.

Tapi Bapak romantis?

Wah, romantis banget. Tiap ulang tahun perkawinan kami, 22 Februari, jam 00.00 pasti Bapak mengucapkan selamat. Itulah perhatian yang dia berikan.

Bapak bisa juga marah?

Bapak marah ketika saya bandel tidak mau memikirkan kesehatan. Kadang jam 03.00 saya masih rapat. Paginya saya sudah pergi ke Pasar Blok M melakukan kegiatan sosial. Sampai-sampai saya belum makan karena ingin menyelesaikan pekerjaan dengan cepat dan tuntas. Dulu, ketika dicalonkan jadi capres, jika Bapak hanya kampanye di 3-4 titik dalam sehari, saya bisa di 11 titik dalam sehari.

Tampaknya Ibu gampang terharu, ya?

Saya banyak menangis daripada tertawa bukan karena sedih, tapi dalam kegembiraan saya pun menangis. (Uga sempat menangis ketika melakukan acara sosial di Pasar Blok M. Seorang bocah kecil mendekati dan menangis karena tidak punya kesempatan belajar sejak sang ayah meninggal dunia. Itu mengingatkan Uga yang juga kehilangan sang ayah di saat ingin meraih cita-cita.)

Apa yang membuat Ibu bahagia?

Satu hal yang membahagiakan adalah kehidupan anak-anak kami. Putri pertama, di usia muda pendalaman agamanya sudah jauh. Yang membuat saya terharu dan tidak pernah saya lakukan saat dia kecil, tiap kali menyusui dia selalu mengambil air wudhu dulu.

Putri kedua, ketika SMP sudah memutuskan memakai jilbab. Awalnya memang tidak saya kasih karena takut hanya terbawa arus saja. Bayangan saya dulu, karena badannya tinggi dan pintar berenang, dia bisa jadi peragawati. Saat dia memilih berjilbab, saya menangis. Kenapa saya yang setua ini tidak terpanggil? Akhirnya saya terpanggil memakai jilbab.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com