Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengusaha Harus Transparan soal Makanan Halal

Kompas.com - 04/06/2009, 20:39 WIB

SURABAYA, KOMPAS.com - Isu produk makanan tidak halal seringkali berimbas pada macetnya bisnis produk tertentu. Karena itu, dibutuhkan sikap transparan dan terbuka dari para pengusaha untuk menjelaskan komposisi produk-produk makanan mereka.

Demikian diungkapkan Gubernur Jawa Timur Soekarwo, Kamis (4/6) di sela jaring pendapat bersama anggota Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang (Pansus RUU) Jaminan Produk Halal Komisi VIII DPR RI di Ruang Kertanegara, Kantor Gubernur Jawa Timur, di Surabaya.

"Karena isu tidak halal tiba-tiba merek produk tertentu tidak laku. Padahal tak semua jenis merek tersebut mengandung komposisi makanan tidak halal," ucapnya.

Menurut Soekarwo, pencetusan RUU Jaminan Produk Halal memiliki sisi positif, pertama memberikan jaminan terhadap pemeluk agama Islam bahwa yang dimakan benar-benar halal. Selain itu, usaha justru tak akan mati tiba-tiba hanya karena isu-isu makanan tak halal yang beredar.

"Setiap perusahaan dan pusat perbelanjaan harus memaparkan dengan jelas komposisi produk mereka. Dengan demikian, masyarakat sendiri yang akan memilih," kata Soekarwo.

Selain klasifikasi, dibutuhkan pula proses standardisasi produk makanan melalui pemberian sertifikasi. Namun, proses pengajuan sertifikasi produk seringkali memberatkan dari segi biaya, terutama bagi para pengusaha kecil.

"Memang proses sertifikasi produk berat untuk pengusaha kecil. Tapi yang terpenting adalah adanya keterbukaan dari para produsen untuk menjelaskan komposisi produk-produk mereka," ujarnya.

Pertengahan September

Ketua Pansus RUU Jaminan Produk Halal Komisi VIII DPR RI, Said Abdullah mengungkapkan, pembahasan RUU Jaminan Produk Halal ditargetkan selesai bulan September 2009 mendatang.

"Sampai sekarang masih ada tiga pertimbangan rumit, yaitu pemilihan auditor produk makanan, apakah auditor dari Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) seperti yang diminta Majelis Ulama Indonesia (MUI), auditor independen, ataukah dari badan layanan umum. Jika dari MUI saja nanti dikira monopoli," ucapnya.

Persoalan kedua, yaitu pemberian fatwa, apakah dari auditor langsung atau lembaga fatwa sendiri. Menurut Said, DPR lebih memilih lembaga fatwa sendiri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com