Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Taqiyuddin, Menyelamatkan Jejak Pasai

Kompas.com - 07/05/2009, 02:01 WIB

Oleh Andy Riza Hidayat

Puluhan tahun, terutama pada masa konflik, ribuan makam tua di Aceh Utara tak terurus. Tak banyak studi tentang batu bersurat peninggalan Kerajaan Samudra Pasai. Padahal, bebatuan ini menyimpan jejak kejayaan peradaban pesisir timur Aceh. Bagi Taqiyuddin Muhammad, epigrafi dalam prasasti itu adalah bagian dari Kerajaan Pasai yang perlu diselamatkan.

Sebagian prasasti penting itu kondisinya mengenaskan. Ada makam berukir yang patah tertimpa pohon, tersembunyi di balik semak belukar, dan sebagian melapuk diselimuti lumut.

Kenyataan ini menggugah Taqiyuddin, terutama setelah ia mempelajari sejarah kebudayaan Islam di Mesir dan menguasai bahasa Arab. Keinginan itu semakin kuat setibanya dia di Aceh pada 2005. Bekal ilmu selama 14 tahun belajar di Fakultas Ushuluddin, Jurusan Aqidah dan Filsafat, Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, cukup baginya untuk mulai ”membongkar” prasasti Pasai.

Ia sendiri tak tahu banyak jejak sejarah ”kampungnya”. Pria kelahiran Peusangan, Biereun, Aceh, ini justru akrab dengan sejarah Mesir kuno.

Pascaperdamaian di Aceh, Agustus 2005, dia memulai perjuangannya. Pada 2007 ia mengajak sejumlah pemuda yang mempunyai gagasan dan keinginan sama untuk bergabung. Upaya ini bukan pekerjaan ringan. Selain harus berjuang dengan terbatasnya dana, ia mesti menahan diri dari cibiran sejumlah kerabat dan tetangga.

”Mereka sempat mengatakan, ’Ah itu hanya proyek tengku, paling nanti juga bawa proposal ke kantor bupati.’ Membawa proposal ke kantor pemerintah berarti meminta dana. Ini stigma negatif yang perlu diluruskan,” tutur Taqiyuddin.

Sebutan tengku di Aceh biasa ditujukan kepada pemuka agama atau orang dengan kedalaman ilmu agama. Tanpa diminta, Taqiyuddin menyandang gelar ini. Ia ingin muruah seorang tengku terjaga sebagaimana lazimnya panutan masyarakat. Tengku tak pantas bekerja untuk mendapatkan pamrih, apalagi mencari uang dengan kedok kegiatan sosial. Kalau tengku tak dipercaya masyarakat, siapa lagi yang menjadi panutan hidup?

Pemahaman ini terbenam kuat dalam benaknya. Keterbatasan sarana dan cibiran negatif tak menghalangi keinginannya mengumpulkan jejak Pasai. Dua tahun bekerja dengan dana swadaya, ratusan epigrafi nisan tua Pasai berhasil dia terjemahkan bersama para pemuda. Sejumlah fakta sejarah baru tentang Pasai, terutama sebelum abad ke-16, mulai terkuak.

Menerjemahkan kaligrafi berhuruf Arab dalam batu nisan bukan pekerjaan mudah. Dalam kaligrafi nisan, pemahat memasang ”jebakan” yang terselip dalam penggunaan bahasa dan simbol huruf. Sering kali simbol ini menceritakan data penting, misalnya gambar kandil (lampu gantung di dalam masjid). Gambar seperti itu ditemui di sejumlah makam tua yang berarti pemilik makam adalah penyebar Islam.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com