Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

150 Tahun St Ursula, Mencetak Manusia Berkualitas

Kompas.com - 19/01/2009, 07:01 WIB
Oleh Indira Permanasari

SUDAH 150 tahun usia sekolah Santa Ursula di Jalan Pos, Jakarta. Ribuan murid silih berganti memasuki bangunan bergaya kolonial itu. Mulai dari saat anak masih datang ke sekolah menumpang kuda, seperti dalam foto tua yang ditunjukkan Kepala SMA Santa Ursula Moekti K Gondosasmito OSU, MEd, hingga kini menumpang kendaraan roda empat.

Sejumlah fasilitas juga berubah demi menyesuaikan kehendak zaman. Akan tetapi, satu hal yang tidak banyak berubah, yaitu roh pendidikan membangun manusia seutuhnya, baik intelektualitas, karakter, maupun kepekaan sosial.

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta Swasono yang menempuh pendidikan menengah pertama dan atas di sana pada pertengahan tahun 1960-an pernah merasakan didikan para suster.

”Saya mendapatkan perlakuan yang sama dengan anak lain. Ikut kerja bakti bersama anak-anak lain dan kalau salah ya disetrap. Saya paling ingat kebagian kerja bakti menggosok WC di samping kantor kepala sekolah dan menimba air di sumur,” kenangnya.

Dia juga menikmati cara para guru mengajar di sana. Bagaimana para guru menularkan semangat belajar dan bekerja keras. Saat belajar ilmu falak, misalnya, Meutia ingat mendapat pekerjaan rumah tentang matahari. Selama satu minggu murid wajib berdiri di satu titik dan mengamati matahari terbit.

”Setiap pukul enam pagi teng, saya mengamati pergeseran matahari dan menggambarkan posisinya,” ujarnya. Pentingnya ilmu, disiplin, kerja keras, dan budi pekerti menjadi pengalaman yang terekam di benaknya.

Didirikan suster Ursulin

Sekolah Santa Ursula di Jalan Pos didirikan tahun 1859 oleh para suster Ursulin di Indonesia. Ordo Santa Ursula mulai berkarya di Indonesia pada tahun 1856. Di Indonesia terdapat sekitar 15 yayasan di bawah Ursulin Indonesia yang menaungi sekolah-sekolah dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas di Jawa dan luar Jawa.

Salah satunya adalah sekolah Santa Ursula di Jalan Pos yang menyelenggarakan pendidikan dari TK hingga SMA. Saat ini terdapat sekitar 5.000 anak menempuh pendidikan di sana.

Kedisiplinan dan prinsip egaliter termasuk kenangan yang membekas di benak Renata Arianingtyas, alumnus Santa Ursula angkatan 1990.

”Murid dan guru yang tidak masuk sekolah harus membawa surat izin dan lapor langsung ke suster kepala sekolah. Murid dan guru berbaris mengantre bersama-sama laporan ke suster. Kejujuran menjadi penting,” ujar Renata, alumnus sekaligus Program Manajer untuk Human Right, Citizenship, dan Equality Yayasan Tifa.

Soal disiplin itu masih berlaku sampai sekarang. ”Ada yang bilang sekolah Santa Ursula itu seperti di penjara dengan seragam kotak-kotak hijau. Namun, kita enggak merasa begitu kok. Kita diberikan kebebasan berpikir dan berekspresi,” ujar Dita, salah seorang murid kelas III SMP Santa Ursula.

Urusan kedisiplinan jangan dianggap main-main di sekolah itu. Rok tidak boleh naik di atas lutut dan kaus kaki tidak boleh menutupi betis. Dilarang makan dan minum di dalam kelas. Pengumpulan tugas tepat waktu. Selalu mengenakan seragam di lingkungan sekolah. Tepat waktu datang ke sekolah. Dilarang mencontek atau keluar dari sekolah. Buanglah sampah pada tempatnya, dipisahkan antara sampah organik dan nonorganik. Itu hanya sebagian ”aturan main”.

Kepekaan sosial

Di sekolah itu pula, para lulusannya diasah kepekaan sosialnya. Renata masih mengingat bagaimana suster berani mengambil jam pelajaran dua hingga tiga minggu untuk retret dan live-in atau tinggal bersama warga di komunitas tertentu yang berbeda dari keseharian para murid. Lewat kegiatan tersebut, mereka juga dibiasakan berpikir kritis.

”Biasanya mendekati akhir tahun ajaran di kelas III anak-anak sekolah lain sedang sibuk drilling mempersiapkan ujian akhir, tetapi kami malah pergi ke desa dan merasakan tinggal bersama warga. Anak Sanur (Santa Ursula) banyak yang berasal dari kelas menengah dan atas. Lewat pengalaman tersebut, siswa belajar bahwa ada realitas yang berbeda,” ujarnya.

Asahan kepekaan sosial tersebut juga dirasakan presenter sekaligus Pemimpin Redaksi Liputan 6 SCTV Rosiana Silalahi. Pada masanya, Rosiana termasuk tim pengajar anak-anak miskin di kawasan Cilincing, Jakarta Utara. Dia juga masih mengingat setiap tanggal 17 setiap bulannya sekolah mewajibkan mereka menggunakan transportasi umum.

”Tidak boleh naik taksi. Harus transportasi umum seperti bus, bemo, atau bajaj,” ujar Rosiana.

Dalam bukunya, Catatan Seorang Pendidik; Fikir, Suster Francesco Marianti, OSU yang 25 tahun memimpin SMA Santa Ursula, menegaskan bahwa pendidikan meliputi seluruh aspek dalam diri manusia. Aspek intelektualitas, keterampilan, kepribadian, dan kepekaan sosial diberi peluang berkembang semaksimal mungkin. Hal tersebut sesuai dengan misi Serviam, yang berarti ”aku mengabdi” tujuan pendidikan membentuk manusia mandiri, berkepribadian utuh, humanis, serta berorientasi pada nilai-nilai luhur.

Kepala SMA Santa Ursula Moekti K Gondosasmito OSU, MEd, mengatakan, metode pengajaran di sekolah Santa Ursula adalah membantu kaum muda agar bertumbuh dengan utuh baik intelektual, karakter, dan kepekaan sosial. Bahasa barunya barang kali komunitas pembelajar yang interaktif, inovatif, dan kreatif.

Intelektualitas dikembangkan melalui pembelajaran di kelas, kegiatan ekstrakurikuler, dan pemberian tugas agar potensi peserta didik bisa optimal.

Pada akhirnya yang terkenang dari sebuah institusi pendidikan bukan dahsyatnya nilai rapor atau berbagai piala, tetapi nilai-nilai yang dapat mereka pakai dalam kehidupan serta karya di masyarakat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com