Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dendam Sejarah di Medan Konflik

Kompas.com - 21/11/2008, 01:50 WIB

"Inilah tempat timah terkaya yang tidak ada bandingannya di dunia. Seluruh pulaunya akan menjadi tambang timah terbesar..." (Thomas Stamford Raffles, 1812)

Oktober kelabu! Begitulah istilah yang dilekatkan oleh masyarakat Bangka untuk mengingat peristiwa perusakan Kantor Gubernur Bangka Belitung di kawasan Air Itam, Pangkal Pinang, pada 5 Oktober 2006. Pemicu perusakan yang berbuntut kerusuhan itu tak lain terkait soal timah.

emua memang berawal pada timah. Ribuan orang yang bergantung hidupnya pada penambangan timah di lokasi tambang inkonvensional (TI) dan atau pekerja di industri peleburan timah di Pulau Bangka tiba-tiba mengamuk karena hak hidupnya merasa diganggu.

Sejak awal Oktober 2006, polisi memang melakukan operasi penutupan pada sedikitnya 84 usaha tambang timah rakyat, menyita peralatan tambang, serta menahan belasan warga. Polisi juga menutup tiga industri peleburan timah (smelter) yang menampung pasir timah rakyat.

Aksi protes ke Markas Kepolisian Daerah Bangka Belitung bukan saja tidak membuahkan hasil, malah berbuntut kericuhan sehingga menyulut kemarahan lebih luas. Esoknya, sasaran kemarahan beralih ke pusat pemerintahan Provinsi Bangka Belitung.

Dalam aksi pada 5 Oktober 2006 tersebut, massa yang marah memecahkan hampir semua kaca jendela, mendobrak pintu, dan merusak mobil-mobil berpelat merah yang terdapat di areal parkir. Sebelumnya mereka merobohkan pagar gerbang kantor, menghancurkan lampu-lampu taman dan hidran yang ada di halaman depan.

Setelah menjebol pintu bagian samping kantor, massa berhasil merangsek masuk ruangan dan merusak komputer serta perabot kantor lainnya. Para bupati se-Bangka Belitung dan unsur musyawarah pimpinan daerah yang sedang rapat bersama gubernur (ketika itu masih dijabat A Hudarni Rani) pun harus diungsikan melalui pintu belakang.

Bukan untuk mengungkit luka masyarakat Bangka, catatan hitam ini hanya ingin memperlihatkan betapa isu menyangkut timah sangat rawan memicu konflik. Bahkan, menengok jauh ke belakang, konflik yang melibatkan masyarakat dalam memperebutkan komoditas bahan galian golongan A ini sudah muncul sejak berabad-abad lampau.

Iskandar Zulkarnain dan kawan-kawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat, konflik memperebutkan komoditas timah di daerah ini pada dasarnya telah terjadi sejak abad ke-18. Pada saat-saat tertentu intensitas konflik antarpihak meningkat, membuat simpul-simpul persoalan, sehingga menimbulkan gejolak dalam masyarakat (Konflik di Kawasan Pertambangan Timah Bangka Belitung: Persoalan dan Alternatif Solusi (LIPI Press, 2005: 67).

Tidak ada catatan pasti sejak kapan timah sebagai komoditas bernilai ekonomis ditemukan di Bangka dan Belitung. Hanya disebutkan, sejarah penambangan timah di dua pulau ini sudah melewati masa yang cukup panjang, jauh sebelum pemerintahan kolonial Belanda—melalui Kesultanan Palembang—memonopoli perdagangan timah dari daerah ini pada awal abad ke-18.

Dua buku yang sangat representatif tentang pertimahan di Tanah Air yang ditulis Sutedjo Sujitno, Dampak Kehadiran Timah Indonesia Sepanjang Sejarah (2007) dan Sejarah Penambangan Timah di Indonesia Abad 18-Abad 20 (2005), sedikit memberi gambaran masa-masa awal itu.

Menyimak catatan I Tsing, pengelana China yang sempat berkunjung ke Sriwijaya pada abad ke-7, Hovig P (Hoe Kwam Bangka aan zijn naam?, 1957) memperkirakan bahwa timah di Bangka sudah dikenal sejak abad ke-4. Adapun penambangannya diduga baru dimulai abad ke-8.

Pandangan ahli geologi dari Banka Tin Winning (BTW) ini terkait masa awal penambangan timah berangkat dari cuplikan salah satu kisah pelayaran Sinbad, yang mengisahkan bahwa di Pulau Kela terdapat banyak orang yang sedang membuat parit untuk menambang timah. Pulau Kela dalam cerita ”1001 Malam” itu diasumsikan Hovig sebagai Pulau Bangka sekarang.

Sumber lain mengutip petikan surat Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker kepada penguasa Oost Indische Companie tertanggal 25 Januari 1667. Dalam surat itu disebutkan bahwa kapal yang akan kembali pulang (ke Negeri Belanda) memuat 100.000 pon timah. Ada dugaan bahwa timah dari Asia yang memasuki pasaran Amsterdam pada 1667 itu berasal dari Bangka.

Cukup banyak teori mengenai kegiatan awal penambangan dan perdagangan timah di Bangka Belitung. Namun, catatan penulis tak dikenal—kemudian dikutip dan dimuat dalam Tijdschrift voor Ned. Indie VIII (1846)—tampaknya paling banyak mendapat tempat, dan dirujuk oleh para ahli. Catatan penulis tak dikenal itu menyebut angka 1709 sebagai tahun pertama penemuan timah di Bangka.

”... waktu di mana pertama kali penemuan timah di Bangka tidaklah jelas. Namun, penambangan timah yang pertama kali dilakukan adalah di wilayah Merawang, tepatnya di kampung Calin daerah Depak. Penambangan itu dilakukan atas perintah Batin Angor, yang bermula dengan ditemukannya butiran logam putih yang berserakan di tanah bekas hutan yang dibakar ketika membuka ladang...” (2007:11).

Dikontrol pemerintah

Bagi masyarakat Bangka Belitung, kapan dan di mana awal penemuan serta penambangan timah tidaklah begitu penting. Catatan yang segera muncul dalam ingatan mereka, sejak awal penduduk lokal tidak mendapat akses yang cukup untuk ikut menikmati hasil dari nilai ekonomi sumber daya alam yang terkandung dalam perut bumi tempat mereka berpijak.

Pada masa Bangka dan Belitung berada di bawah Kesultanan Palembang, di awal abad ke-18, penduduk lokal diposisikan hanya sebagai penonton. Penguasaan akan nilai ekonomi timah (juga lada) di tangan Sultan Palembang. Apalagi, belakangan Serikat Dagang Belanda (VOC), melalui Sultan Palembang, memonopoli perdagangan timah dari Bangka dan Belitung,

Menyusul kehadiran pekerja tambang yang sengaja didatangkan dari daratan Tiongkok, akses penduduk lokal pada komoditas timah kian dijauhkan. Situasi ini terus berlanjut pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Inggris, dan Jepang. Lebih-lebih setelah timah ditetapkan sebagai komoditas strategis dan kegiatan penambangan hanya boleh dilakukan oleh penguasa, penduduk lokal semakin dipinggirkan.

Pada masa kemerdekaan pun setali tiga uang. Ketika terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Tanah Air, termasuk perusahaan timah di Bangka (1953) dan Belitung (1958), penambangan dan perdagangan timah sepenuhnya di bawah kontrol pemerintah. Kegiatan penambangan hanya boleh dilakukan penguasa. Tak ada ruang bagi rakyat. Bila ketahuan melakukannya secara diam-diam. rakyat akan dipenjara.

Akan tetapi, di tiap zaman perlawanan selalu ada. Kasus-kasus pelanggaran biasanya muncul ketika warga dihadapkan pada kesulitan ekonomi yang memuncak, ditandai jatuhnya harga lada dan sebaliknya harga timah melambung di pasaran dunia. Tragisnya, ketika intensitas pencarian pasir timah oleh warga meningkat, penguasa selalu menyikapinya dengan ”tangan besi”.

Pada awal tahun 1970-an, misalnya, Iskandar Zulkarnain dkk mencatat, penjara Pangkal Pinang sempat penuh sesak oleh para penyelundup timah yang tertangkap. Bahkan, dalam laporan mereka terungkap, sebuah operasi militer yang dikerahkan pemerintah pusat untuk meredam penyelundupan timah di daerah Belinyu menewaskan sekitar 500 orang. Jumlah ini belum termasuk mereka yang menemui ajal di penjara, yang jumlahnya pun tak kurang dari 500 orang.

”Episode sejarah pembunuhan massal (terkait soal timah) ini tak pernah diungkap selama masa Orde Baru,” demikian Iskandar Zulkarnan dkk dalam laporan penelitian mereka (2005:60).

Pada awal era reformasi muncul fenomena menarik. Seperti terjadi di banyak tempat di Tanah Air, ada semacam euforia di kalangan masyarakat Bangka Belitung untuk bisa ikut menikmati keuntungan dari penambangan timah.

Munculnya Surat Keputusan (SK) Menteri Perindustrian dan Perdagangan (1999) yang tidak lagi mencantumkan timah sebagai komoditas ekspor yang diawasi, serta semangat otonomi daerah yang muncul belakangan, segera saja diterjemahkan sebagai ”lampu hijau” bagi rakyat untuk ikut terlibat dalam usaha penambangan timah.

Tambang inkonvensional

Istilah TI yang semula merujuk pada tambang inkonvensional bagi mitra kerja PT Timah, yang hanya bisa diakses oleh pengusaha, dalam perkembangannya bergeser menjadi tambang ilegal ketika rakyat biasa ikut membuka lahan tambang. Hanya dalam beberapa tahun, jumlah TI yang berusaha di bekas lokasi kuasa pertambangan (KP) PT Timah sudah mencapai ribuan.

Tahun 2001 saja, Sutedjo Sujitno (2007:290) mencatat ada 5.257 TI di Bangka dan 734 di Belitung. Angka ini belum termasuk TI di luar KP PT Timah, seperti di kawasan hutan produksi, hutan konservasi, hutan lindung, atau mereka yang menggali pasir timah di kebun lada dan pekarangan rumah mereka.

Jumlah TI terus membengkak, dan di pengujung tahun 2008 diperkirakan sudah mendekati 20.000 buah. Apalagi, sejak beberapa tahun terakhir bermunculan apa yang disebut TI apung, yakni TI yang beroperasi di perairan sungai dan laut di sekitar pantai Pulau Bangka. Jumlah TI apung kini mendekati 5.000 buah.

Sejak kemunculan TI, produksi timah dari Bangka dan Belitung meningkat tajam. Selama tahun 2001, misalnya, produksi TI mencapai 42.000 ton, melebih produksi PT Timah yang tercatat 40.000 ton. Implikasinya, penyelundupan timah ke luar negeri pun marak terjadi.

Pemerintah pusat mulai ikut angkat bicara lantaran merasa kehilangan pendapatan dari royalti dan pajak. Sejumlah ketentuan baru ditetapkan, di antaranya larangan mengekspor timah dalam bentuk pasir dan konsentrat.

Bagai dendam terhadap sejarah (meminjam ungkapan yang kerap dikemukakan sejarawan Taufik Abdullah), akses yang terbuka lebar itu ternyata juga menebar benih konflik di berbagai tingkatan. Berbagai kasus bermunculan.

Kerusuhan antara penambang timah dan sistem TI apung dan warga desa di Pantai Bubus, Belinyu, akhir Mei 2006, telah menimbulkan bara permusuhan antarwarga. Begitu pun peristiwa rebutan lokasi penambangan TI apung di perairan Kampung Sukadamai, Tanjung Ketapang, Toboali, awal Oktober lalu. Sementara itu, di Belitung, seorang kepala desa di Kecamatan Sijuk terpaksa mengungsi ke Tanjung Pandan lantaran diancam warganya karena tak bersedia mengeluarkan surat rekomendasi penambangan timah bagi mereka.

Munculnya sejumlah industri peleburan timah swasta skala kecil, yang menampung bijih timah rakyat dari TI, belakangan juga menimbulkan masalah baru. Kasus penutupan tiga smelter oleh kepolisian, karena diduga tidak membayar royalti, pajak eksplorasi dan eksploitasi, adalah contoh kecil adanya konflik kepentingan antarberbagai pihak.

Ekonomi masyarakat Bangka Belitung memang bertumbuh sejak aksen penduduk pada pencarian timah dibuka. Tetapi, konflik antarberbagai pihak yang terlibat dalam memperebutkan rezeki dari keberadaan timah di daerah ini juga terus bermunculan. Di atas segalanya, konflik yang paling mengerikan dampaknya tentu saja berupa rusaknya bentang alam di dua pulau ini.... (ken)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com