Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pondok Terapung

Kompas.com - 14/11/2008, 17:02 WIB

Banyak restoran "terapung" yang sudah pernah saya kunjungi. Di Tanjungpinang, di Batam, di Garut, di dekat Pusan (Korea Selatan), di Ayutthaya dan Hua Hin (Thailand), di Seattle dan Santa Barbara (Amerika Serikat), dan di tempat-tempat lain. Tetapi yang satu ini sangat mengesankan saya. Sederhana, tetapi dengan kualitas masakan dan keunikan yang perlu diacungi jempol.

Tempatnya di mulut Sungai Pagurawan, di pantai Timur Sumatra Utara, tidak jauh dari Tebingtinggi. Sungainya cukup besar, dan merupakan pecahan dari Bah Apal yang berhulu di dekat Siantar. RM “Pondok Terapung” letaknya tepat di bawah jembatan baja Sungai Pagurawan.

Pemiliknya, seorang bapak berusia lanjut yang sangat santun, menyambut saya di tempat parkir mobil. Pakaiannya sederhana, namun rapi. Melalui jembatan kayu yang sempit dan panjang, kami berjalan menuju warungnya yang menghadap ke sungai. Warung itu dibangun dengan tiang-tiang yang dihunjamkan ke dasar sungai. Di dinding tampak beberapa fotonya bersama para pejabat yang pernah berkunjung ke warungnya.

“Sebetulnya, saya ingin memasang jaring di bawah, agar ikan dan kepiting hidup bisa kami simpan di sana. Tetapi, pasang-surutnya terlalu besar, sehingga ikan-ikan mati bila air surut,” katanya. Langsung terbayang betapa indahnya bila konsep itu berhasil diterapkannya. Kualitas seafood di kawasan ini – termasuk kepiting dan udang galah di daerah delta – merupakan salah satu modal awal bagi keistimewaan kulinernya.

Rupanya, ia sudah menyiapkan berbagai hidangan khusus untuk saya cicipi. “Di tempat lain tidak ada,” katanya membanggakan. “Setidaknya, ini adalah jenis masakan rumahan yang jarang tampil di rumah makan.”

Tidak ada nasi dalam sajiannya. Ada secambung pulut (ketan) dengan topping rendang kepah (semacam kerang). Ada ikan kembung buang duri. Dan ada pula gulai kering cumi-cumi isi pulut. Sayurnya adalah jenis yang populer di Sumatra Utara, yaitu daun ubi (singkong) tumbuk.

Petang itu tampak beberapa perahu nelayan hilir-mudik di depan warung. Berbeda dengan pasar-pasar ikan yang lain, di tempat ini tidak hadir aroma anyir atau amis yang meruak ke sekitarnya. Hanya bising mesin klotok perahu-perahu nelayan saja yang mengganggu lingkungan.

Ketannya pulen, ke arah kering, sehingga tidak lengket di tangan. Rendang kepah yang masih setengah kalio ternyata padan sekali menemani ketan. Kepahnya empuk karena dimasak lama dalam santan. Saya makin menyadari bahwa rendang sebetulnya merupakan sajian yang luwes untuk mendampingi berbagai jenis karbohidrat. Selain nasi, rendang juga cocok disantap dengan ketan. Bahkan, bila menemukan rendang juara, biasanya saya sengaja mencari baguette (roti Prancis yang panjang seperti gada) untuk menyantapnya.

Ikan kembung buang tulang buatan warung ini memang benar-benar hidangan istimewa. Ikan kembung sebetulnya adalah jenis ikan murah yang populer di berbagai bagian Nusantara. Tetapi, di sini ikan kembung mengalami penambahan nilai (value addition) yang membuatnya lebih berkelas. Cara membuatnya persis sama dengan sate bandeng di Serang, atau otak-otak bandeng di Gresik dan Surabaya. Kepala dan kulit ikan dibiarkan utuh. Duri dan daging ikan dikeluarkan. Setelah duri dibuang, daging ikannya dihancurkan, ditambahi bumbu, dan dicampur dengan sedikit parutan kelapa untuk membuatnya lebih gurih dan ber-body. Dilumuri sedikit kocokan telur, lalu digoreng. Duh aduh, mak nyuss banget!

Yang juga mak nyuss adalah cumi isi ketan. Saya tidak pernah menemui sajian seperti ini sebelumnya. Di RM “Sunda Kelapa”, Jakarta Utara, saya menemukan sajian favorit cumi telur bakar madu. Cumi-cumi ukuran sedang dibersihkan, lalu tabungnya diisi dengan telur cumi. Bagian luarnya dilumuri madu, lalu dibakar. Tetapi, di Pagurawan, cuminya diisi ketan, dan kemudian dimasak dalam kuah gulai kental. Wah, yang satu ini benar-benar dapat membuat kita termimpi-mimpi. Saya kagum! Kesederhanaan warung ini sungguh-sungguh tidak dapat dianggap enteng. Sajiannya termasuk juara kelas berat.

Secara kuliner, kawasan Tebingtinggi dan sekitarnya termasuk under-rated dan under-promoted. Kurang dianggap penting dan karena itu kurang dibicarakan. Padahal, seperti Medan yang hanya 80 kilometer di sebelah Utara, Tebingtinggi juga memiliki kekayaan kuliner yang khas.

Kekayaan kuliner Tebingtinggi pada dasarnya merupakan resultat dari kekayaan budaya yang bersifat multikultural. Warga Tebingtinggi merupakan bauran suku Melayu, Jawa, keturunan Tionghoa, dan keturunan India. Ciri-ciri dan elemen kuliner dari masing-masing budaya dan suku saling mengayakan kuali-kuali masakan di kawasan ini.

Hadirnya berbagai suku bangsa ini mengikuti hukum ekonomi yang berlaku global sejak masa lalu. Tanah Deli di akhir abad ke-19 dikembangkan menjadi lahan perkebunan tembakau dan kelapa sawit. Orang-orang Tionghoa “mencium” kesempatan ini dan berdatangan ke Sumatra Utara. Begitu juga kaum pekerja dari India. Orang-orang Jawa sengaja didatangkan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan milik Belanda. Hingga kini masih sering terdengar sebutan Jakon (Jawa Kontrak) dan Jadel (Jawa Deli) bagi orang-orang Jawa keturunan para pekerja yang pertama kali didatangkan dari daerah Bagelen (Magelang dan sekitarnya). Sekarang, sudah ada istilah yang lebih politically correct untuk kelompok ini, yaitu Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatra).

Saya juga sempat mengobrol dengan pemilik “Pondok Bagelen” di Tebingtinggi. “Kami sudah lega sekarang. Kaum keturunan Tionghoa sudah makan di tempat kami. Mereka ini jumlahnya cukup besar di Tebingtinggi dan tidak suka masak di rumah. Mereka selalu mencari makan di luar,” katanya. Memang, tiap jam makan tampak kaum keturunan Tionghoa meramaikan rumah makan berhalaman luas ini.

Orang-orang keturunan Tionghoa di Tebingtinggi sudah punya lidah yang sangat bhinneka. Di Pasar Gambir, di tengah kota Tebingtinggi, yang pada malam hari berubah menjadi tempat mangkal para pedagang makanan, kita melihat orang-orang keturunan Tionghoa makan roti canai dengan kuah kari atau mi tambi masakan orang India. Jangan heran bila memesan martabak telur di Tebingtinggi. Proses membuatnya persis sama dengan yang di Aceh disebut “martabak terbalik”. Kulitnya digoreng dulu menjadi bentuk segi empat, lalu dituangi kocokan telur dengan daging dan daun bawang. Jadi, kulitnya tidak membungkus telur dadar, tetapi sebaliknya.

Salah satu elemen kuliner yang populer di sekitar Tebingtinggi – bahkan sampai ke Pematang Siantar – adalah burung. Berbagai macam burung – puyuh, belibis, merpati, ruak-ruak – diolah dalam berbagai jenis masakan. Di warung-warung makan Melayu, biasanya burung digoreng atau dibakar. Di rumah makan Tionghoa, burung digoreng dengan bumbu ngohiong (lima bumbu harum). Jangan lewatkan, di Tebingtinggi ada beberapa rumah makan Tionghoa yang “patoet dipoedjiken”.

Jalur Medan-Tebingtinggi sendiri merupakan lintasan yang penuh dengan pilihan berbagai macam masakan. Jalur ini merupakan Lintas Timur yang dilalui kendaraan-kendaraan umum dari Jakarta ke Medan lewat Jambi dan Pekanbaru.

Salah satu langganan saya di lintasan ini adalah Warung “Halimah” di Sungai Rampah yang menghidangkan masakan Melayu-Jawa. Favorit saya adalah anyang ayam. Anyang adalah sajian mirip urap di Jawa, yaitu sayur kukus dengan taburan parutan kelapa berbumbu. Bedanya, urap di Jawa biasanya memakai parutan kelapa mentah. Di Sumatra Utara, parutan kelapa dan bumbu disangrai sampai setengah kering. Sayur-mayurnya juga ditiriskan sampai kering.

Di “Halimah”, anyangnya justru agak lembab – mengikuti gagrak Jawa – dan hanya terdiri dari tauge dan suwiran ayam. Wuih, mak nyuss banget!

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com