Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Media Bisa Menginspirasi Kejahatan

Kompas.com - 10/11/2008, 04:03 WIB

JAKARTA,SENIN-Media massa cenderung kian menginspirasi orang dalam melakukan kejahatan. Pelaku kriminalitas cenderung meniru praktik kejahatan lainnya melalui media massa. Indikasinya adalah munculnya gejala kemiripan kasus-kasus kriminalitas yang menonjol pada tahun ini.

Ade Erlangga Masdiana, kriminolog dari Universitas Indonesia yang juga mengajar mata kuliah Media Massa dan Kejahatan, Sabtu (8/11) di Jakarta menerangkan, media menjadi alat pembelajaran bagi pelaku dalam mengemas perbuatan kriminal. Ia mencontohkan kasus-kasus pembunuhan disertai mutilasi yang belakangan muncul berkali-kali.

Berdasarkan catatan Litbang Kompas, sejak Januari hingga November 2008 terjadi 13 peristiwa pembunuhan dengan mutilasi di Indonesia. Angka itu tertinggi untuk periode tahunan, sejak kasus mutilasi muncul tahun 1967. Sementara itu, pada tahun 2007 hanya terjadi tujuh peristiwa mutilasi.

Erlangga menjelaskan, mekanisme peniruan atau imitasi terjadi baik secara langsung (direct effect) maupun tertunda (delayed effect). Pada anak-anak, media memberikan dampak langsung, seperti kasus tayangan smackdown di televisi. Bagi orang dewasa, dampaknya tertunda. ”Orang dewasa bisa melakukan hal yang sama seperti di televisi ketika ia berada pada kondisi yang serupa seperti peristiwa di televisi itu,” kata Erlangga.

Pemimpin Redaksi Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) Arief Suditomo yang dihubungi semalam mengatakan, ”Perilaku seseorang tidak ditentukan dari pola konsumsi media yang diterima. Tidak serta-merta seseorang jadi pembunuh atau bertindak seronok setelah menonton televisi.”

Meskipun demikian, ia mengatakan, pihaknya menghindari pemberitaan yang bombastis dan sensasional, termasuk dalam tayangan kriminal. ”Kebijakan editorial RCTI adalah bagaimana mengadvokasi dan menginspirasi serta mendapatkan kepercayaan publik,” ujar Arief.

Ia mencontohkan sosok Bang Napi di Program Sergap yang diadakan untuk membangun kewaspadaan. Arief percaya sebuah berita yang baik tidak bersifat bombastis.

Levi Siahaan, produser feature kriminal di sebuah stasiun televisi swasta, mengatakan, tayangan kejahatan yang berlebihan memang bisa menginspirasi. ”Berita kriminal menempatkan penjahat menjadi tokoh sentral, dan seolah-olah menjadi sosok penting. Banyak reporter televisi lupa akan fungsi edukasi media,” kata Siahaan.

Dodo, reporter senior berita kriminal di sebuah stasiun televisi, menambahkan, liputan dan tayangan berita kriminal sudah seperti perburuan sensasi infotainment. ”Yang dicari hanya kehebohan. Dampak pemberitaan kerap diabaikan,” kata Dodo.

Erlangga mengatakan, pada kasus mutilasi, Sri Rumiyati (48) yang membunuh suaminya, Hendra, mengaku memutilasi karena terinspirasi Ryan, yang memutilasi Heri Santoso. Rumiyati lalu membuang sebagian potongan tubuh Hendra di dalam bus.

Analisis Erlangga cocok dalam kasus pembunuhan dan mutilasi terhadap Ny Diah oleh Agus Naser, suaminya, di tahun 1989. Dalam sidang pada 2 Desember 1989, Agus mengaku memutilasi karena terinspirasi peristiwa penemuan mayat terpotong 13 di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, yang tak terungkap.

”Ketika mulai panik mau dikemanakan mayat itu, tiba-tiba saya ingat berita di koran tentang mayat terpotong 13 yang ditemukan di Jalan Sudirman. Lalu terlintas pikiran, kalau mayat itu saya potong-potong, tentu polisi sulit melacak,” tutur Agus dalam persidangan di PN Jakarta Pusat (Kompas, 4 Desember 1989).

Berdasarkan catatan Kompas, sejak tahun 1967 hingga November 2008 sudah terjadi 61 kasus mutilasi. Kasus mutilasi fenomenal yang pertama diberitakan adalah mutilasi dua warga negara Indonesia, Lily Kartika Dewi (27) dan anaknya, Iwan Kartika (5), di Hongkong. Pelakunya adalah suami Kartika, Bob Liem, juga WNI. Bob memutilasi kedua korban, lalu mencampur potongan tubuh mereka dengan semen untuk dijadikan dinding dapur di apartemennya di Hongkong.

Peniruan atau imitasi (copycat) kejahatan itu menurut Erlangga, merujuk pula pada teori imitasi oleh sosiolog asal Perancis, Gabriel Tarde (1843-1904). ”Society is imitation. Masyarakat selalu dalam proses meniru. Ketika orang tiap hari dicekoki nilai-nilai keras, kasar, masyarakat pada akhirnya meniru,” kata Erlangga.

Televisi

Erlangga mengatakan, media massa yang memiliki efek paling kuat terhadap masyarakat dalam hal peniruan adalah televisi. ”Karena itu, tayangan rekonstruksi kriminalitas itu sebaiknya dihentikan karena sangat berbahaya. Televisi dan juga media cetak sebaiknya tidak lagi mengangkat pemberitaan kriminalitas secara detail,” kata Erlangga.

Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Bimo Nugroho, penulis Dead Media Society (2005), Minggu, menyebutkan, ada hubungan erat kekerasan di tayangan televisi dengan yang terjadi di kehidupan nyata. Ia menegaskan hal itu berdasarkan hasil penelitian Leonard Eron dan Rowell Huesman terhadap berbagai program tayangan kekerasan di televisi Amerika Serikat pada akhir tahun 1990-an.

Eron dan Huesman mengorek akibat media pada penonton anak-anak yang tumbuh dari usia 8 tahun hingga 22 tahun kemudian. Hasilnya, tontonan kekerasan yang dinikmati pada usia 8 tahun akan mendorong aksi kriminalitas pada usia 30 tahun. (SF/NEL/ONG/WIN)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com