Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hutan-hutan Legenda Tatar Sunda

Kompas.com - 20/10/2008, 16:10 WIB

Oleh Usep Romli HM

Banyak hutan di Jawa Barat memiliki nilai legendaris. Selain menjadi penyangga utama lingkungan, hutan-hutan tersebut juga menjadi sumber folklor atau cerita rakyat, yang tercatat dalam dongeng, kepercayaan lokal, babasan, dan paribasa.

Idiom kawas badak Cihea sering muncul untuk menggambarkan seseorang berjalan bergegas, terburu-buru, tanpa melihat kiri dan kanan. Cihea adalah sebuah kawasan hutan dan perkebunan di Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur. Di situ, konon pernah ada sebuah kerajaan kecil bernama Susuru, sezaman dengan Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Pakuan (Bogor).

Sisa-sisa gambaran Kerajaan Susuru, walaupun belum terbukti secara arkeologis, masih tampak hingga sekarang di sepanjang aliran irigasi Sukarama yang berhulu di Sungai Cisokan. Sisa-sisa tersebut, antara lain, berupa lapangan yang disebut alun-alun dan tampian (tempat pemandian).

Hutan Cihea sendiri sudah lenyap ditelan perkembangan pembangunan, apalagi badak penghuninya. Masih untung tercatat dalam babasan yang masih agak terpelihara turun-temurun.

Hutan lain yang dihubungkan dengan satwa badak adalah Cipatujah di Kabupaten Tasikmalaya. Sebuah personifikasi berbunyi kawas diseupah badak Cipatujah menggambarkan keadaan benda yang hancur tak bersisa, hanya tinggal seupah (sepah) atau ampas. Seperti badak Cihea, badak Cipatujah pun sudah lenyap tak berbekas.

Badak di bagian selatan Garut mungkin bernasib lebih baik daripada badak Cihea dan badak Cipatujah, paling tidak mengacu pada informasi pengarang Sunda terkenal, Muhammad Ambri, dalam bukunya Numbuk di Sue yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada 1939. Di situ Ambri mengisahkan anak-anak sekolah dari Bandung yang berwisata ke Pantai Cilauteureun, Samudra Hindia.

Sejak keberangkatan dari Bandung, selama di perjalanan dari Cisompet ke laut hingga kepulangan kembali, mereka selalu dirundung malang. Salah satu penyebabnya adalah acara perburuan badak yang dihadiri Kangjeng Dalem (bupati) sehingga semua kuda tunggangan di tepi desa dan kecamatan terpakai oleh para camat dan kuwu yang ikut berburu.

Kehebatan profil badak dan kegaduhan para pemburunya diper-oleh tokoh kuring dari Suanta yang menjadi gundal (pembantu) Juragan Camat yang mendampingi Kangjeng Dalem. Numbuk di Sue merupakan karya fiksi, tetapi cukup akurat mengungkapkan keadaan alam tahun 1930-an yang masih serba sederhana dan lingkungan alamnya masih terpelihara. Karena itu, masih banyak rawa di tengah hutan tempat pangguyangan badak. Leuweung Sancang

Kawasan selatan Garut memang memiliki hutan legendaris, yaitu Leuweung Sancang. Banyak kisah mengandung kepercayaan (mitos) yang menganggap Sancang sebagai tempat tilem (menghilang) Prabu Siliwangi. Menurut cerita rakyat yang berhasil dikumpulkan oleh panitia Hari Buku International Indonesia yang diprakarsai Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) pada 1972, Prabu Siliwangi mubus (kabur menyelinap) ke arah selatan karena dikejar-kejar anaknya, Kiansantang, agar masuk Islam.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com