Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sumbangan Pahlawan Kotabaru untuk Keistimewaan Yogyakarta

Kompas.com - 08/10/2008, 03:00 WIB

Oleh Gatot Marsono

Selamat sore!" Ini awal dialog enam belas RRI Yogyakarta setahun lalu. "Maaf, bapak siapa dan dari mana?" tanya Atang Basuki, presenter RRI Yogyakarta kepada penelepon. Penelepon menjawab, "Saya Sujono dari Jagod alias Jalan Godean, mau bertanya kepada narasumber. Apa betul nama-nama jalan di Kotabaru Yogya adalah pahlawan?"

Oleh Atang Basuki, pertanyaan Sujono langsung diberikan kepada narasumber KRT Soekarno Mertopuspito yang merupakan Pengurus Dewan Harian Daerah (DHD) 45 Daerah Istimewa Yogyakarta.

Setelah dijelaskan oleh Pak Karno dengan panjang lebar bahwa nama-nama jalan di sekitar Kotabaru, antara lain Suroto, Wardani, Abubakar Ali, A Jajuli, Faridan M Noto, I Dewa Nyoman Oka, Sabirin, Suparmo, M Juwadi, M Saleh, Bagong Ngadikin, Soedjijono, Sarwoko, Soebarman, Djohar Nurhadi, Soenardjo, Atmo Sukarto, Oemoem Kalipan, Trimo, Djasman, Soepadi, dan lain-lain, sejumlah 21 orang adalah pahlawan yang gugur dalam pertempuran Kotabaru 7 Oktober 1945.

Bapak yang menelepon RRI tersebut lega, sambil menyatakan bangga campur haru, "Ooallah, jebul semua itu pahlawan, tho?" "Padahal, saya setiap hari melewati jalan-jalan itu," tambah Sujono.

Bahkan, Sujono meminta kepada narasumber agar nama-nama itu disosialisasikan kepada generasi muda.

Menurut Sujono, dirinya yang sudah berusia 50 tahun lebih tak mengerti jika nama-nama jalan di kompleks Kotabaru Yogyakarta adalah nama-nama pahlawan Kusuma Bangsa yang gugur dalam menegakkan kemerdekaan Negara Republik Indonesia.

Bagaimana dengan anak-anak dan generasi muda sekarang? Apabila tidak tahu, apalagi memahami sejarah bangsanya. Siapa yang salah dan berdosa?

Kemarin, Selasa Pon, tanggal 7 Oktober 2008, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Ke-252 Kota Yogyakarta, sejarah pertempuran Kotabaru kembali diperingati dengan inspektur upacara Wali Kota Yogyakarta H Herry Zudianto. Sementara itu, Monumen Pertempuran Kotabaru yang terletak di sebelah barat gedung SMA Bopkri I adalah tetenger dari pergolakan rakyat Yogyakarta pertama setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan Soekarno Hatta. Bambu runcing

Pertempuran sengit rakyat Yogyakarta dari berbagai kampung penuh jiwa heroik patriotik dan semboyan sepi ing pamrih rame ing gawe dan rawe-rawe rantas malang-malang putung. Para pejuang dengan senjata bambu runcing, keris, tombak, dan parang menyerbu markas tentara Jepang yang masih ingin bercokol di bumi Indonesia (Yogyakarta).

Menurut KRT Soekarno Mertopuspito, Letkol Pol Purn Ollot Sadjiman, ada 21 tentara Indonesia gugur, dan yang terluka 32 orang, sedangkan tentara jepang tewas sebanyak 27 orang. Para syuhada yang gugur di Kotabaru dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, kecuali Faridan M Noto makamnya di Pemakaman Gajah, Glagah, Umbulharjo Yogyakarta. Sementara itu, Djerhas dan Mohammad Wardani dimakamkan di belakang Masjid Agung Kauman, Yogyakarta.

Menurut Soekarno, jiwa juang rakyat Ngayogyakarta Hadiningrat dalam ikut membela, mempertahankan kemerdekaan RI, tak lepas dari peran besar Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII sebagai panutan, pengayom kawula Yogyakarta menyusul Maklumat Sri Sultan HB IX dan PA VIII 5 September 1945 yang amat bersejarah itu.

Dalam Risalah Pertempuran Kotabaru yang ditulis Bhakti Pertiwi, 7 Oktober 1995, ada beberapa tokoh penting lain, seperti Soendjojo, Moeridan Noto, Oemar Slamet, Oemar Djoy, Selo Ali, dan RP Soedarsono.

Mereka inilah tokoh-tokoh yang berperan dalam pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR), angkatan bersenjata pertama kali yang dibentuk setelah Indonesia merdeka.

Karena kenyataan di DIY masih bercokol tentara Jepang seperti di Pingit dan ada juga yang di Magelang masih memiliki senjata lengkap. Demi Kedaulatan Republik Indonesia, 22 September 1945, diadakan gerakan aksi serentak rakyat yang dipelopori para pemuda dengan mengibarkan bendera Merah Putih di depan gedung-gedung pemerintah sepanjang Jalan Malioboro hingga depan Gedung Seminari Kotabaru.

Pada tanggal 6 Oktober 1945, sebenarnya telah dilakukan upaya damai dengan pihak Jepang di rumah komandan (Butaicho). Ketua Komite Nasional Indonesia waktu itu didampingi Oemar Djoy, Soendjojo, Bardosono, dan RP Soedarsono, berunding dengan Mayor Otsoeka, Sasaki (Kenpetai-Polisi Militer), Kapten Ito (Kianbucho).

Karena Jepang tidak segera menyerahkan senjata, dengan alasan belum ada izin komandannya yang ada di Magelang. Para pejuang mendapat kesan, pihak Jepang leda-lede dan terkesan licik, bahkan berjanji besok pagi (7 Oktober 1945, pukul 10.00). Kesan licik Jepang juga diindikasikan mau bertahan dengan memasang kawat berduri yang dialiri listrik di sekitar markasnya.

Kenyataan inilah yang menyulut kemarahan pejuang. Diawali pemutusan aliran listrik dari induknya, tiba-tiba ada ledakan suara granat. Dan saat itulah pertempuran sengit terjadi. Jepang akhirnya menyerah kalah, ditandai dengan mengibarkan bendera warna putih.

Tulisan ini sebagai sumbangsih bagi siapa pun yang belum mengerti, utamanya para generasi muda. Sebagaimana pesan Bung karno, "Jas Merah" jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah.

Dan tentu termasuk keistimewaan Yogyakarta adalah sejarah yang tidak boleh dihapus begitu saja. Ternyata, di Kotabaru Yogyakarta banyak pahlawan bertebaran di jalan-jalan. Merdeka! "Sekali Istimewa, Yogyakarta Tetap istimewa!!!" Gatot Marsono Pengasuh Obrolan Pak Bares di RRI dan Kaca Benggala TVRI Yogyakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com