Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Makassar Lageee

Kompas.com - 10/09/2008, 08:08 WIB

Ada satu lagi yang baru di Makassar. Bandaranya baru. Bahkan belum diresmikan. Arsitekturnya lumayan bagus. Tetapi, di balik kemegahan itu sudah terlihat berbagai ketidaksempurnaan. Semua mata yang terlatih menilai kualitas bangunan akan segera melihat betapa kasarnya pengerjaan finishing bangunan megah itu.

Tentu saja saya langsung meng-inspeksi toiletnya yang baru. Ampyuuuun! Toiletnya sangat kotor. Petugas kebersihan bukannya membersihkan lantai, melainkan malah meratakan kotoran ke seluruh permukaan lantai. Ketika saya katakan kepadanya bahwa toilet ini sangat kotor, ia malah tertawa. Mungkin ia tidak pernah dilatih untuk membedakan mana yang bersih dan mana yang kotor.

 Jalan tol baru dari bandara ke kota pun menunjukkan bopeng-bopeng ketidaksempurnaan. Tetapi, yang paling saya sesali adalah hilangnya beberapa penjual dange pulubollong yang semula berjajar-jajar di sepanjang lintasan itu. Di ruas jalan itu kini hanya dapat dijumpai dua orang penjual jajanan khas Bugis itu. Entah berapa lama lagi mereka dapat bertahan menyajikan dange. Satu lagi tanda-tanda kepunahan pusaka kuliner kita?

Dange dibuat dari tepung ketan hitam, parutan kelapa, sedikit garam, dan gula merah. Tepung ketan hitam dan parutan kelapa dikukus, kemudian dicampur dengan sedikit garam. Pengukusan tepung ketan hitam dan parutan kelapa dilakukan untuk memercepat proses pemasakan kue dan menjaganya agar tidak mudah basi. Campuran dimasukkan ke dalam cetakan dari tanah liat yang sebelumnya dibakar sampai membara. Gula merah dimasukkan ke dalam setiap ceruk kue.

Cetakan panas membara itu secara efektif memasak adonan yang dimasukkan ke sana. Dalam waktu sekitar tiga menit saja, dange sudah matang di dalam cetakan membara itu. Bentuknya seperti kue pukis atau sagu rangi. Rasanya gurih-gurih manis. Legit! Dengan citarasa ketan hitam yang menonjol.

Dange pulubollong memang makin langka saat ini. Bahkan, jajanan Bugis yang dulu banyak dijumpai di Pangkajene ini, kini pun tak banyak lagi dapat dijumpai di sana. Tampaknya masyarakat Bugis dan Makassar pun adem-adem saja menanggapi pertanda kelangkaan ini. Maklum, kini sudah hadir begitu banyak jajanan lain yang lebih “modern” – seperti singkong keju, dan lain-lain.

Orang Bugis juga mengenal makanan lain dengan nama yang mirip, yaitu dangke. Dangke adalah susu kerbau yang dikentalkan (koagulasi) sehingga berbentuk padat seperti tahu. Bisa digoreng ataupun dibakar, dangke disantap sebagai lauk bersama sambal. Dangke sangat mirip dengan dali ni horbo yang populer di Tapanuli. Bedanya, dali ni horbo biasa dimasak lagi dengan kuah kuning yang gurih. Sedangkan dangke diperlakukan sebagaimana layaknya tahu goreng.

Dalam kunjungan ini saya pun sempat mencicipi cucur bayao yang ternyata sangat berbeda dari kue cucur yang selama ini kita kenal. Bayao dalam bahasa Bugis berarti telur. Pembuatannya, bentuknya, dan citarasanya sangat mirip dengan srikaya palembang. Bedanya, orang Palembang merasa lebih mantap bila dibuat dari telur bebek. Bedanya lagi, bila srikaya beraroma pandan dan berwarna kehijauan, cucur bayao berwarna kuning seperti telur, dan diberi tambahan kenari sehingga rasanya lebih gurih. Kerenyahan kenari juga memberi tekstur yang kontras terhadap cucur bayao yang lembut dan mulus.

Tentu saja, kunjungan ke Makassar tidak lengkap tanpa makang ikang alias makan ikan. Dalam tulisan sebelumnya tentang Makassar saya pernah mencatat betapa orang-orang Jakarta yang datang ke Makassar terheran-heran melihat jumlah yang dipesan oleh penduduk lokal. Kalau orang Jakarta memesan satu ekor ikan untuk 2-4 orang, orang Makassar selalu memesan satu ekor ikan untuk setiap orang. Itu belum termasuk tambahan udang dan cumi-cumi. Meja makan orang Makassar selalu penuh dengan piring-piring ikan.

Beberapa tahun yang lalu, seorang teman Jalansutra – Rapiali Zainuddin –  pernah mengirim ikan kudu-kudu beku dari Makassar. “Kalau ikan ini menabrak kapal selam, justru kapal selamnya yang bocor, Mas,” kata Pak Zain bergurau. Bentuk ikannya memang aneh. Penampang melintangnya berbentuk segi empat. Seluruh permukaan kulitnya keras seperti tulang. Biasanya orang Jakarta menyebut ikan kudu-kudu ini sebagai ikan helikopter.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com