Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kita Kerja Udah Kayak di Zaman Belanda...

Kompas.com - 01/09/2008, 13:13 WIB

JAKARTA, SENIN — Sementara orang lain sibuk menjaga stamina dan tenaga di hari pertama puasa hari ini, Senin (1/9), para pramudi Transjakarta koridor II dan III justru rela berjemur dan berlelah-lelah menyampaikan aspirasinya kepada pihak direksi.

Mereka tak tahan lagi karena terus diminta bekerja memenuhi target, tapi jaminan kesejahteraan tak berpihak pada mereka. "Ya kita kerja udah kayak di zaman Belanda saja. Harus memenuhi target, tapi aturan-aturan perusahaan seenaknya aja," ujar salah satu pramudi perempuan di koridor II. Sebut saja Rima.

Rima mengatakan, dia dan rekan-rekannya tak mungkin rela membuang tenaga jika tidak dalam keadaan darurat. Aturan demi aturan, menurut para pramudi, dikeluarkan dengan semena-mena. Mulai dari janji penyesuaian gaji yang tidak kunjung dipenuhi, dikeluarkannya SK pemotongan gaji jika mereka tak masuk, hingga hak untuk menggunakan koperasi karyawan, Askes, dan jaminan Kecelakaan Lajur (Laka).

Menurut Rima, dalam setiap shift per harinya mereka harus mencapai target sebanyak 9 rit atau 9 kali pulang-pergi sesuai trayeknya, Harmoni-Kalideres atau Pulo Gadung-Harmoni. Dalam 8 jam setiap harinya, mereka harus mencapai target itu.

"Bahkan kalau hari Sabtu atau Minggu kita harus menghabiskan waktu jam kerja meski sudah mencapai target. Ya harus dibela-belain," ujar Rima yang sudah bekerja sebagai pramudi selama tiga tahun.

Ia mengeluhkan dengan tugas yang demikian padatnya, pihak direksi tidak kunjung menyesuaikan gaji, merealisasikan janji-janji bonus tambahan, dan malah mengeluarkan SK pemotongan gaji jika mereka tidak masuk kerja. SK ini berlaku sejak Agustus lalu. Gaji pokok mereka yang sebesar Rp 1.050.000 harus dipotong jika tidak masuk dengan alasan apa pun.

"Kita juga dipotong meski dengan alasan yang jelas, sakit atau ada gawean gitu. Masa sama dengan yang bolos," kata Rima.

Mereka juga memperoleh uang harian sebesar Rp 50.000 yang dipotong Rp 10.000 setiap hari sebagai uang makan siang berupa nasi kotak. Rima juga mengeluhkan bahwa nasi kotak sebagai makan siang mereka sangat memprihatinkan. Karena itu, dia dan teman-temannya sering membeli sendiri makan siang mereka di warteg. "Padahal kita kan butuh energi yang banyak untuk bawa bus begini," tandas Rima.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com