Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rusia (3): Menjenguk Chelyabinsk, "Neraka" di Muka Bumi

Kompas.com - 13/08/2008, 09:30 WIB

Pukul 22.45 WIB. Jarum jam di pergelangan tangan saya masih menunjuk waktu Indonesia bagian barat. Saya sengaja tidak memutar waktu. Selisih waktu antara Chelyabinsk dan Jakarta hanya terpaut satu jam lebih lambat.

Hentakan keras sangat terasa saat roda pesawat perintis yang membawa kami ke kota kecil ini mendarat di landasan pacu Bandara Balandino, di kota Chelyabinsk, Rusia.  Angin kencang dan udara dingin yang menusuk tulang menyeruak di tengah kegelapan malam menyambut kami malam itu. Tak ada pemandangan lain yang bisa dinikmati selain kegelapan.

Begitu turun dari pesawat, sekitar seratus penumpang pesawat perintis dari Moskwa itu langsung berlari-lari kecil menuju ke dalam bus untuk menghindar dari cuaca buruk.  Pendaratan malam itu merupakan penerbangan terakhir, sebelum bandara tutup dan kembali beroperasi keesokan harinya.

Cahaya lampu di bandara itu pun sebagian besar sudah padam. Hanya terminal terakhir ini saja yang masih menyala, itupun dengan cahaya yang agak redup. Namun di tengah minimnya cahaya, masih dapat terlihat jelas kusen kayu yang sudah lapuk dimakan usia. Pintu-pintu kayunya pun sudah tak jelas warnanya, dengan beberapa bagian yang juga sudah lapuk.

Satu-satunya yang masih kokoh berdiri adalah bangunan gedung dengan tembok-tembok tebal dan pilar-pilar di bagian luar. Entah sejak kapan lapangan udara Balandino ini dibangun. Yang jelas ini menjadi satu-satunya lokasi penerbangan untuk keluar masuk Chelyabinsk.

Sosok muram bandara yang terletak 18 kilometer di sebelah utara Chelyabinsk malam itu seakan mewakili semua sejarah buram kota ini sebagai wilayah dengan polusi radio aktif tertinggi di dunia.

Selama lebih dari setengah abad sejak tahun 1940, Chelyabinsk menjadi pusat pengembangan nuklir di Rusia. Selama itu pula, the Mayak Nuclear Facility yang berada 80 kilometer di sebelah utara Chelyabinsk, membuang sampah radio aktif ke danau Karachai, dan sungai Techa di kaki pengunungan Ural, yang menjadi batas antara Asia dan Eropa.

Akibatnya, Karachai pun menjadi danau dengan polusi radio aktif tertinggi di dunia. Belakangan ditemukan fakta bahwa  level radiasinya 10 kali lipat lebih tinggi dari radiasi yang dihasilkan saat reaktor nuklir Chernobyl meledak di tahun 1986.   

Sejak awal dekade 1950-an  ditemukan banyak kasus pencemaran radio aktif yang menimpa manusia. Bahkan, penduduk 22 desa dalam radius 50 kilometer dari Mayak sempat dievakuasi karena kontaminasi limbah nuklir di sungai tersebut.

Di tahun 1957,  tangki penyimpan limbah nuklir Mayak meledak dan radiasinya dua kali lebih besar dari Chernobyl. Chelyabinsk, dan dua wilayah di sekitarnya yakni Sverdlovsk dan Tyumen menjadi wilayah yang diselimuti radiasi plutonium.

Seluruh tragedi itu hanya menjadi rahasia selama berpuluh-puluh tahun. Tapi dampaknya tak bisa dirahasiakan. Bukan saja usia harapan hidup masyarakat di tempat ini yang lebih rendah dibandingkan dengan kota lain di Rusia, tapi lebih dari 30 tahun silam ditemukan peningkatan angka penderita kanker, cacat bayi saat kelahiran, dan kemandulan pada bayi-bayi yang dilahirkan di kota ini.

Selama empat puluh lima tahun Chelyabinsk menjadi daerah tertutup bagi orang asing. Baru pada  bulan Januari tahun 1992, Presiden Boris Yeltsin menandatangani dekrit yang merubah status itu. Hasilnya, para ilmuwan dari barat mulai dapat melakukan penelitian di kawasan tersebut. Mereka kemudian menyatakan Chelyabinsk sebagai the most polluted spot on the earth.

Anehnya, begitu masyur cerita mengenai tragedi radioaktif ini, tapi tak banyak penduduk Chelyabinsk yang tahu kisah mengerikan itu. Entah mereka tak tahu, atau mereka memilih untuk bungkam dan melupakan masa lalu.  "Mayak?  Saya tidak pernah dengar nama itu. Tapi memang ada satu stasiun radio bernama Mayak di sini," jawab Elizabeth, seorang pelayan di Hotel Berezka, Chelyabinsk.

Elizabeth lebih memilih untuk menerangkan banyaknya danau di kota kelahirannya ini. Menurutnya, danau-danau itu menjadi daya tarik tersendiri bagi setiap wisatawan yang berkunjung ke Chelyabinsk. Termasuk pohon Berezka yang menjadi pohon khas di Chelyabinsk.

Memang, sepanjang 30 menit perjalanan menuju hotel hanya deretan pohon-pohon sejenis pinus yang kerap terlihat di antara gelapnya malam. Pohon-pohon itu tumbuh rapih berjajar di sisi jalan beton menuju Hotel Berezka, tempat kami menginap. Bentuknya tinggi memanjang, dengan batang bergaris-garis warna putih hitam. Itulah pohon Berezka, pohon khas di Chelyabinsk.

Lalu bagaimana dengan Mayak? Jawaban tak berbeda pun diberikan oleh sejumlah penduduk lain keesokan harinya. Seorang pejabat di pabrik alat berat Uraltrac, dan seorang pengajar di lembaga pelatihan milik Uraltrac mengaku tak pernah mendengar nama Mayak, apalagi pusat nuklir di kota itu.

Mungkin bagi mereka, tak ada lagi yang perlu dikenang dengan saat-saat tragis di masa lalu. Apalagi sekarang Chelyabinsk sudah menjadi kota terbuka dengan air dan udara yang segar pula. Kemuraman yang tertangkap di dalam gelap semalam, langsung sirna saat matahari terbit. Rimbunnya pepohonan hijau dan rumah-rumah kayu yang asri mewarnai banyak sudut di sekitar kawasan Hotel Berezka. Pemandangan ini mungkin bisa mewakili kondisi Chelyabinsk yang mulai membuka diri, dan meluruhkan jejak sebagai 'neraka' di muka bumi.

(Bersambung)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com