Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Depkeu: Restitusi PPN Tidak Bisa Ditukar Royalti

Kompas.com - 06/08/2008, 15:39 WIB

JAKARTA,RABU - Dirjen Kekayaan Negara Depkeu, Hadiyanto mengatakan, restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) yang menjadi hak perusahaan tambang batubara tidak dapat secara sepihak ditukar dengan utang pembayaran royalti oleh perusahaan tambang batu bara. "Ada mekanisme yang harus ditempuh dari sisi penganggaran, selain itu belum disepakati substansi apakah PPN itu dapat direstitusi," kata Hadiyanto di Jakarta, Rabu (6/8).

Ia mencontohkan, jika pemerintah mempunyai tagihan berupa jeruk kepada perusahaan tambang sementara perusahaan tambang punya tagihan kepada pemerintah berupa salak, maka tidak dapat secara otomatis jeruk ditukar dengan salak. "Selain itu, ini juga bukan berasal dari perjanjian perdata namun merupakan piutang negara berdasar UU tentang PNBP," katanya.

Menurut dia, debitor itu sebaiknya membayar dulu lunas utang royalti kepada negara dan bahwa mereka mempunyai klaim kepada negara, dapat diajukan tersendiri.  

Hadiyanto menyebutkan, piutang negara yang menjadi beban kontraktor Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) disebabkan karena tidak bersedia membayar Dana Hasil Produksi Batubara (DHPB)/royalti yang merupakan kewajiban pemilik kuasa penambangan kepada pemerintah (cq ESDM). "Royalti tidak dibayarkan terhitung sejak 2001 hingga 2006," kata Hadiyanto.

Dasar dari tidak bersedianya kontraktor melaksanakan kewajiban karena adanya PP Nomor 144 tahun 2000 tentang jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN, yang menggolongkan batu bara ke dalam barang bukan kena pajak, sehingga pelaku usaha pertambangan tidak dapat mengkreditkan pajak masukannya, dan perusahaan tidak dapat lagi meminta pengembalian PPN atas perolehan barang kena pajak dengan cara restitusi melalui Ditjen Pajak.

Kontraktor menilai pemerintah tidak melaksanakan salah satu buktir kesepakatan dalam perjanjian kontrak karya PKP2B generasi I. Berdasar pendapat itu, perusahaan batu bara menahan pembayaran royalti kepada pemerintah dengan alasan sebagai bentuk kompensasi  reimbursement PPN, dan dapat dilakukan tanpa sepengetahuan salah satu pihak. "Dengan tidak dibayarnya royalti maka Departemen ESDM menyerahkan pengurusan/penagihan piutang royalti itu kepada Panitia Urusan Piutang Negara," kata Hadiyanto.

Nama perusahaan itu adalah PT Kideco Jaya Agung dengan jumlah tunggakan royalti Rp 448,09 miliar dan 30,51 juta dollar AS, PT Kaltim Prima Coal (115,63 juta dollar AS), PT Kendilo Coal Indonesia (6,64 juta dollar AS), PT Arutmin Indonesia (68,60 juta dollar AS), PT Berau Coal (Rp 284,28 miliar dan 23,82 juta dollar AS), dan PT Adaro Indonesia (Rp 131,70 miliar dan 85,00 juta dollar AS). "Sehingga jumlahnya Rp 864,07 miliar dan 330,20 juta dollar AS. Jumlah itu belum termasuk biaya administrasu pengurusan piutang negara sebesar 10 persen yang merupakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP)," katanya.

Menurut Hadiyanto, perkembangan pengurusan piutang negara terhadap 6 debitor itu saat ini sudah ditingkatkan menjadi surat paksa yang diterbitkan 28 Agustus 2008. "Mengingat sejak penyerahan ke PUPN tidak ada pembayaran dalam rangka pelunasan dari debitur royalti, maka dilaksanakan pencegahan bepergian keluar negeri," katanya.

Menurut dia, pencegahan terhadap pengurus perusahaan batu bara itu sesuai dengan dokumen penyerahan dari Departemen ESDM kepada PUPN. "Mekanisme pencegahan ini dilaksanakan menurut tata persuratan yang sangat konfidensial," tegas Hadiyanto.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com