Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nge-geng Boleh, asal...

Kompas.com - 25/07/2008, 08:35 WIB

Hari gini, jamak banget remaja kayak kalian pada punya teman-teman satu geng atau nge-geng. Enggak di lingkungan sekolah, enggak di rumah, yang namanya teman se-geng itu adaaa... aja.

Memang asyik sih kalau punya teman se-geng. Kita bisa kumpul dan jalan bareng, bisa curhat, bisa ngapain aja.... Kayaknya teman se-geng itu orang-orang yang paling tahu dan mau ngertiin diri kita, hidup jadi lebih berwarna dan enggak ngebosenin.

Enggak beda sama yang namanya sahabat, temenan satu geng biasanya dimulai dari rasa cocok dan adanya kesamaan minat atau hobi. Misalnya nih, kalian yang hobi nyanyi, nge-gengnya pasti sama temen yang juga suka nyanyi. Jadi, kalau lagi ngumpul bareng, bisa karaokean, terus bisa nonton konser bareng.

Bahkan, nge-geng enggak cuma bisa dijadiin kegiatan ngumpul bareng dan ber-ha-ha-hi-hi aja. Geng juga bermanfaat buat nampung unek-unek. Ya, beda-beda tipis sama sahabat. Yang jelas sih, kalau punya teman se-geng, susah-senang bisa dibagi rata.

Sedihnya, sekarang banyak geng yang salah kaprah. Banyak geng yang dibentuk cuma buat gaya-gayaan, bahkan untuk melegalkan perilaku kekerasan. Wualah....

Kebutuhan

Psikolog perkembangan remaja Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung, Jawa Barat, Esri Rahayu Astuti, membenarkan, fenomena geng remaja yang sarat kekerasan enggak cuma terjadi di kota besar seperti Jakarta dan Bandung, tetapi juga di kota-kota kecil lain di Indonesia. Sedihnya....

Bicara soal geng, menurut Esri, pada usia remaja, kebutuhan untuk nge-geng itu lumrah. ”Bahkan, buat sebagian orang jadi penting karena pada usia remaja, mereka butuh pengakuan,” kata Esri.

”Geng inilah yang membuat mereka bisa tampil dan diakui, sekaligus untuk menunjukkan keberadaan mereka di lingkungannya. Punya geng jadi cara supaya mereka dianggap gaul,” katanya.

Nge-geng juga bisa jadi sarana positif buat remaja untuk berbagi masalah yang mereka hadapi. Selama kegiatan yang dilakukan positif, pada usia dewasa nanti, kebiasaan itu akan berhenti karena faktor usia.

”Dengan bertambahnya usia, kebutuhan nge-geng akan hilang karena rasa percaya diri mereka sudah kuat,” kata Esri.

Sayangnya, kalau sudah nge-geng, para anggotanya—biasanya nih—jadi punya nyali ngelakuin dan nyobain apa saja. ”Kalau mereka nyoba hal-hal positif sih bagus. Tapi kalau mereka nyoba hal-hal negatif, ini salah besar.”

Hal-hal positif, misalnya, para anggota geng berdiskusi atau belajar berkelompok..., he-he.... Kalau yang negatif, misalnya, bersama-sama nyobain minuman keras, narkoba, atau malak.

”Kalau yang negatif-negatif ini enggak segera dihentikan, bisa keterusan. Apalagi kalau anggota geng-nya dapat keuntungan dari perilaku negatif itu. Misalnya, malak biar punya duit,” tambahnya.

Bedanya sama geng yang berkegiatan positif, perilaku anggota geng yang negatif itu kalau dibiarkan tanpa kendali bisa keterusan sampai anggotanya berusia dewasa lho. Mau tahu jadi apa kalau keterusan? Ya jadi preman, kata Esri.

Bagaimanapun, pilihan buat nge-geng atau enggak, terutama memilih teman-teman yang sesuai itu, ada di tangan kita sendiri. Tetapi, bagaimanapun juga, kita harus selalu waspada, pilih teman yang memang memberi pengaruh positif. Apa iya sih kita mau punya masa depan sebagai preman? Waks, enggak bangetlah.

Jadi, mumpung masih tahun ajaran baru, ketemu teman-teman baru, enggak perlu buru-buru bikin geng.... (DOE)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com