Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Napak Tilas Perjanjian Giyanti Bersama 4 Raja Jawa

Kompas.com - 21/05/2008, 09:02 WIB

Oleh Wartawan Kompas.com, IGN Sawabi

APA sesungguhnya yang menjadi latar belakang diadakannya pertemuan empat raja Jawa, di Salatiga, Rabu (21/5)? Di desa Giyanti (Janti) itulah awal dari runtuhnya kerajaan Mataram dan kemudian melahirkan kerajaan baru bernama Yogyakarta Hadiningrat.

Dalam bukun karya Mr Kanjeng Pangeran Haryo Soedarisman Purwokoesoemo terbitan Gadjah Mada University Press 1985, secara garis besar dituturkan tentang situasi politik, ekonomi, dan keamanan di tahun 1775.

Kerajaan Mataram Islam dengan raja Sunan Paku Buwono III dipusingkan oleh pemberontakan yang dipimpin kerabatnya sendiri, yakni Pangeran Mangkubumi, yang menolak persekutuan antara Mataram dengan VOC.

Perlawanan Pangeran Mangkubumi terhadap Paku Buwono III akhirnya dicarikan solusi dengan digelarnya pertemuan di Giyaanti. Proses panjang dialog antara kubu Paku Buwono III dan Pangeran Mangkubumi ditengahi oleh Gubernur Jenderal N Hartings akhirnya menghasilkan beberapa poin dalam perjanjian yang ditandatangani pada  17 Maret 1755

Poin yang sangat mendasar dari pertemuan itu, Pangeran Mangkubumi mendapat bagian setengah dari Kerajaan Mataram di sebelah barat Sungai Opak. Bagi yang sering atau pernah ke Yogyakarta atau Surakarta, kali Opak merupakan sungai kecil yang membelah kompleks Candi Prambanan,

Pangeran Mangkubumi berhak menjadi raja yang pusat pemerintahannya di Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah. Hak menguasai wiayah Mataram sebelah barat, menurut perjanjian itu, sifatnya turun temurun hingga sekarang. Sedangkan Mataram sebelah timur sungai Opak tetap dikuasai Paku Buwono III dengan pusat pemerintahan di Surakarta.

Wilayah bagian barat sungai Opak yaang dikuasai Pangeran Mangkubumi merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan Mataram oleh Danang Sutawijaya yang memisahkan diri dari kekuasaan Sultan Hadiwijaya di Pajang. Saat itu, Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati diberi hadiah hutan Mentaok dan kemudian atas kekuasaan Panembahan Senopati dibangunlah kerajaan Mataram.

Ternyata dalam perkembangan selanjutnya, politik adu domba Belanda sukses membuat dua kerajaan ini kembali terpecah. Dalam perjalanan sejarah, Pangeran Sambernyowo dari Surakarta kemudian mendirikan kadipaten sendiri yang otonom terpisah dari Kerajaan Surakarta. Wilayah kekuasaan Pangeran Sambernyowo kemudian kita kenal hingga sekarang dengan sebutan Mangkunegaran, karena pangeran ini berkuasa dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro.

Sementara itu, Pangeran Notokusumo dari Yogyakarta dalam perjalanan sejarah juga mendirikan daerah otonom yang terpisah dari Kasultanan Yogyakarta. Pangeran Notokusumo mendapat kekuasaan sebagian dari wilayah Yogyakarta dan mendirikan kadipaten otonom, yakni Kadipaten Pakualaman. Notokusumo bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam.

Kedua pangeran itu secara turun temurun mewariskan kekuasaan ekonomi, sosial., politik dan keamanan masing-masing kepada anak keturunan mereka.

Jika keempat raja di empat kerajaan berdarah Mataram itu kemudian berkumpul menyamakan visi di era modern ini, tentu bukan bermaksud untuk menyatukan kekuatan untuk mendirikan negara baru. Sebab secara jelas, dan disebutkan dalam undang-undang, Kerajaan Yogyakarta, Pakualaman, Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran adalah bagian dari wilayah Negara Kesatuan Rebuplik Indonesia.

Pertemuan juga lebih didasari oleh keprihatinan perkembangan situasi masa kini. Bangsa Indonesia yang masih terpuruk pasca runtuhnya kekuasaan Soeharto, perkembangan ekonomi yang seolah jalan di tempat dan kehidupan rakyat yang tidak segera bangkit.

Rasa keprihatinan itu dirasakan benar oleh empat raja yang kini mewarisi budaya empat kerajaan pecahan dari Kerajaan Mataram itu, masing-masing Sutan Hamengku Buwono X, Sunan Paku Buwono XIII, KGPAA Paku Alam IX dan KGPAA Mangku Negoro IX.

Ternyata dari empat raja yang hendak dihadirkan panitia, hanya Sultan Hamengku Bowono X yang hadir, sedangkan yang lain, tidak bisa hadir dengan alasan yang berbeda-beda.

Tentu kita sebagai orang awam pun merasakan hal sama. Dalam bentuk yang berbeda, situasi Indonesia sekarang ini tidak jauh beda dengan situasi akhir kerajaan Mataram. Yang masih menguntungkan adalah, sekarang tidak ada penjajah Belanda, tetapi justru semangat penjajah itu ada dalam diri sebagian dari elite-elite kita. Mari kita hantarkan bangsa ini ke gerbang kemerdekaan lahir batin dan kesejahteraan yang merata.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com